Sabtu, 20 Agustus 2011

MENGAJAR STRUKTUR MATEMATIKA: BRUNER DAN REPRESENTASI KOGNITIF KONSEP-KONSEP MATEMATIS (BAG II)

E.    Bruner
1.       Teori perkembangan kognitif Bruner
Pembahasan tentang perkembangan kognitif meliputi bagaimana manusia meningkatkan penguasaan penerimaannya dan menggunakan pengetahuan. Terdapat beberapa tema yang sudah jelas kebenarannya terhadap gambaran tentang perkembangan dan kondisi yang membentuknya. Tema pertama berhubungan dengan pengertian dimana perkembangan manusia menggambarkan pengalamannya tentang dunia dan bagaimana manusia mengorganisasi untuk penggunaan di masa depan tentang apa yang telah dihadapinya. Perhatian yang mencolok adalah tentang perkembangan representasi. Pada mulanya anak mengetahui dunia melalui aksi-aksi yang biasa dilakukannya (representasi enaktik). Selanjutnya ditambahkan teknik representasi melalui imajiner yang relatif bebas dari aksi (representasi ikonik). Kemudian ditambahkan dengan metode baru dan kuat untuk mewujudkan aksi dan imajiner ke dalam bahasa, sebagai sistem representasi yang ketiga. Masing-masing mode representasi  yaitu enaktik, ikonik, dan simbolik mempunyai cara yang unik untuk merepresentasikan kejadian.
Tema yang kedua adalah pengaruh kebudayaan dalam pemeliharaan dan pembentukan perkembangan. Perkembangan kognitif  dalam segala manifestasinya terjadi dari dalam ke luar dan dari luar ke dalam. Kebanyakan terdiri dari hubungan manusia dengan kebudayaan mentransmisi “amplifier” kapasitas motorik, sensorik, dan reflektif. Hal ini bukan berarti bahwa perbedaan kebudayaan memberikan perbedaan “amplifier” pada waktu yang berbeda pada kehidupan anak. Kita tidak mengharapkan perkembangan kognitif dianggap sama dengan perbedaan kebudayaan yang dibatasi oleh perbedaan bentuk dan perbedaan perhatian. Banyak perkembangan universal dapat diakibatkan  oleh keseragaman kebudayaan manusia. Perkembangan kognitif baik divergen/seragam  di antara kebudayaan-kebudayaan tidak dapat dibayangkan tanpa terlibat dalam kebudayaan dan komunitas linguistiknya.
Tema yang ketiga berhubungan dengan perkembangan manusia dalam sejarah evolusioner, khususnya pada masa lalu manusia sebagai hasil dari evolusi primata. Manusia terlihat berkembang dengan kapasitas yang unik dalam keadaan yang tidak berdaya diganti dengan pembentukan dari luar dan perlengkapan eksternal. Cukup menjadi catatan, meskipun manusia pada waktu lahir volume otaknya hanya  kali volume orang dewasa dan belum berkembang hingga akhir dekade keduanya, kebanyakan monyet pada waktu lahir volume otaknya  kali dari monyet dewasa dan dalam 1 tahun volumenya menjadi sama dengan volume dari monyet dewasa. Menurut Le Gros Clark (dalam Bruner, 1967, hal 2) syarat manusia menyenangi cara beradaptasi dengan lingkungan melalui cara-cara sosial dan teknik daripada morfologi.
Hal-hal tersebut adalah tema-tema yang penting yang memperhatikan sifat penjelasan dimana perkemnbangan kognitif diperhatikan. Pertama, kejadian psikologis  membutuhkan penjelasan proses-proses psikologis dan tidak dapat dijelaskan melalui translasi ke dalam pola-pola sosiologis, fisiologis, evolusioner, linguistik, atau logika. Perkembangan kognitif adalah sejumlah kejadian psikologis. Misalnya seorang anak yang tidak menunjukkan aksi tertentu pada waktu tertentu dan pada usia tertentu, apakah karena kebudayaan dimana dia tinggal memperlihatkan pola-pola tertentu, atau karena hal ini melekat pada evolusi primata yang pandangannya adalah pandangan dominan, atau karena bahasanya tidak mudah atau suatu cara yang wajib untuk membuat perbedaan yang penting, atau karena aksi anak menunjukkan struktur logika dasar tertentu.
Alasan-alasan material, historis, formal sangat menantang dan menarik bagi psikolog yang mencari pemahaman tentang perkembangan pikiran. Tetapi hal itu saja belum cukup bagi psikolog. Bagaimana kebudayaan dimana anak tinggal mempengaruhi cara anak memandang dunia?. Apakah dominansi isyarat visual dan auditori dalam awal hidup anak beroperasi melalui hubungan perhatian, melalui kemampuan memilih memori, atau bagaimana?. Mengapa sesuatu yang linguistik yang menyediakan perbedaan tidak mempengaruhi pikiran?. Contohnya, kewajiban membedakan maskulin-feminim dalam kata benda di beberapa bahasa tidak brlaku pada bahaa-bahasa Indo-Eropa?. Jika perbedaan sintaksis direfleksikan dalam pikiran, bagaimana mendapatkan status tersebut?. Apakah kita membutuhkan penjelasan terhadap kemampuan penyelesaian masalah anak untuk menyatakan bahwa penyelesaian tersebut membutuhkan beberapa prinsip implikasi logis?. Apakah hal-hal ini bukan cara menggambarkan sifat-sifat formal perilaku yang diamati dengan lebih halus dan lebih berguna menurut pikiran?. Bagimana pula dengan deskripsi linguistik. Jika bahasa dapat mempengaruhi pikiran, adalah penting untuk menetapkan sifat formal bahasa yang sama kuat dalam ujian. Contohnya akan menguji dasar-dasar psikologis penyebaran penampilan awal struktur sintaksis dalam bahasa bayi sama macamnya dengan bahasa Inggris, Rusia dan Turki. Linguistik harus cukup jelas sebelum pertanyaan-pertanyaan psikologis yang relevan dimunculkan. Deskrispsi  formal linguistik bukan penjelasan psikologis dari sifat/asal perilaku berbicara. Dalam contoh evolusioner, deskripsi linguistik berguna untuk mengetahui bahwa di antara primata tingkat tinggi terdapat perkembangan bahasa gerakan nongeneratif tertentu untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan emosi. Apakah pola-pola tersebut juga muncul pada anak sebelum anak mampu menggunakan bahasa yang baik?. Dapatkah respon yang tepat terhadap gerakan (gesture) tersebut dapat dipelajari dengan mudah daripada gerakan yang brubah-ubah?. Tidak ada penjelasan fenomena-fenomna tersebut dengan menggunakan referensi evolusi. Lalu apa yang menentukan perilaku manusia sekarang? Jika seseorang menemukan bahwa anak dalam kebudayaan tertentu mempunyai karakter tertentu dia tidak memahami masalah psikologis hingga diketahui dengan tepat bahwa kebudayaan “berbuat” yang mendorong perilaku tersebut.
Masalah lain yang berhubungan dengan “mendorong” pergerakan perkembangan. Ini adalah pertanyaan yang menjengkelkan dan ada beberapa dasar untuk meragukan ketidakberhasilan membentuk masalah perkembangan (Bruner, 1967, hal 4). Untuk satu hal, pergerakan perkembangan menterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa teleologi, ke dalam dugaan seperti “aktualisasi” atau “membuka” kedewasaan. Kita tetap dalam perhatian terhadap pengaruh pembentukan evolusi dan kebudayaan yang memandang bahwa perkembangan membutuhkan penjelasan baik dari dalam maupun dari luar: kebutuhan “mendorong” dan “membuka”yang lebih spesifik. Contohnya pada awal keadaan tidak berdaya seseorang bersama dengan rasa ingin tahu tentang lingkungan dan dengan aktivitas yang memperkuatnya sendiri nampaknya didesain untuk menerima kompetensi dalam lingkungan tersebut.  Sesuatu yang kompleks ini disebut dengan “keinginan belajar” (Bruner), motif kompetensi (R. W. White), motivasi intrinsik (Hunt), Funktionslust (K. Buhler) adalah dorongan internal yang nampaknya bergantung pada persediaan stimulasi eksternal yang oleh Tolman disebut dalam bentuk discriminanda dan manipulanda, yaitu sesuatu yang dilihat dan dipegang (Bruner, 1974, hal 4). Derajat persediaan stimulasi  menciptakan permintaan terhadapnya yang penting bagi spesies dalam adaptasi morfologis yang dilengkapi dengan adaptasi teknologis. Piaget menyatakan bahwa masih ada dorongan perkembangan lain yang juga merupakan aspek dalam dan luar. Perkembangan intelektual menurutnya didorong oleh disequilibrium, dengan  kegagalan proses akomodatif dan asimilatif bekerja sama cepat satu dengan yang lain- dengan kegagalan model lingkungan anak untuk mencukupi dan meniru kompleksitas belajar baru dari lingkungan itu.
Masalah prosedural lain yang harus diperhatikan dalam membahas tema perkembangan kognitif adalah apakah ada manfaat lebih dalam menduga “tahap” perkembangan atau memikirkan pola proses perkembangan bertahap. Kita percaya bahwa pokok persoalan ini tidak berhasil untuk sesuatu dengan beberapa alasan. Untuk satu hal, kehalusan kurva perkembangan adalah fungsi yang banyak dari jenis perilaku yang dapat dilihat. Banyak penelitian tentang kemampuan mendapatkan bahasa seorang anak secara bertahap. Perkembangan terkini dalam perkembangan bahasa (Brown dan Fraser [1964] atau Miller dan Ervin [1964]) dalam hal menulis “grammar” dalam pidato anak pada usia yang berbeda. Anak bergerak dari “grammar” kata tunggal ke grammar lain dengan sintaks dimulai dengan 2 bentuk kelompok yaitu kelompok pívot dan kelompok buka (open). Setiap grammar yang ditandai dengan aturan yang berbeda merepresentasikan tahap perkembangan bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa ada tahap-tahap dalam meningkatkan pemahaman.
Perkembangan intelektual dipengaruhi oleh cara manusia belajar secara bertahap untuk merepresentasikan dunia dimana manusia beroperasi melalui aksi, imajiner, dan simbol. Kita berusaha untuk menunjukkan bahwa representasi atau konstruksi realitas tidak dapat dipahami tanpa referensi terhadap kemungkinan kekuatan kebudayaan dan warisan evolusi manusia sebagai primata. Pada waktu bersamaan kita percaya bahwa perkembangan intelektual hanya dapat dipahami dalam mekanisme psikologis yang menengahinya dan bahwa penjelasan perkembangan tidak dipengaruhi oleh sifat kebudayaan,  sifat bahasa, logika berpikir anak atau sifat sejarah evolusioner manusia. Ditemukan bahwa tidak ada dorongan internal perkembangan tanpa menghubungkan tarikan eksternal, sifat manusia yang diberikan sebagai spesies, perkembangan bergantung pada hubungan dengan “amplifier” eksternal kekuatan manusia.
Bruner, seorang psikolog Amerika yang setelah PD II menaruh perhatian pada proses kognitif manusia yaitu suatu alat/cara dimana organisme menerima, menyimpan, dan mentransformasi informasi (Bruner, Goodnow, & Austin, 1956). Penelitian proses ini telah dialihkan oleh psikologi eksperimental berorientasi tingkah laku selama beberapa dekade. Bruner bersama dengan teman kolega dan mahasiswanya meluncurkan program ekstensif yang mempelajari proses kognitif dalam berpikir dan belajar (Bruner, 1956: Bruner, Olver, & Greenfield, 1966). Salah satu fokusnya adalah perkembangan konsep. Bruner dan koleganya melakukan eksperimen terhadap orang dewasa dimana mereka menguji strategi orang bekerja dalam proses memilih dan mengklasifikasikan yang kompleks- memutuskan apa yang relevan dan apa yang tidak relevan dengan ide baru yang dibentuk- yang merupakan perkembangan konsep. Berlawanan dengan latar belakang eksperimen laboratorium dengan orang dewasa, Bruner mulai menguji proses kognitif anak dan menjadi tertarik dengan bagaimana anak merepresentasikan secara mental konsep dan ide yang dipelajarinya.
Bruner pada tahun 1966 menguji perkembangan fungsi kognitif. Menurutnya proses perkembangan terjadi dalam 6 poin yaitu:
a.             Perkembangan intelektual bercirikan adanya peningkatan kebebasan respon dari stimulus. Seorang anak yang pada awalnya dikontrol oleh stimulus yang kuat belajar untuk memiliki kebebasan yang meningkat dari stimulus tersebut. Ketika anak belajar sistem bahasa, mereka belajar untuk memediasi hubungan antara stimulus dan respon. Dengan mediasi, anak belajar menunda kepuasan, memodifikasi respon, dan menyimpan respon berbeda dalam mengubah situasi stimulus
b.            Perkembangan bergantung pada perkembangan penyimpanan internal dan sistem pemrosesan informasi yang menggambarkan realitas. Jika anak belajar tentang sistem simbol yang merepresentasikan dunia, mereka tidak pernah dapat memprediksi, meramalkan, menebak akhir novel, dll. Untuk melewati data sensori secara langsung dan pengalaman membutuhkan representasi mental terhadap dunia.
c.             Perkembangan intelektual meliputi kapasitas yang meningkat untuk berkata pada diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan kata atau simbol, tentang sesuatu yang telah dilakukan, dan tentang apa yang akan dilakukan. Hal ni berkaitan dengan kesadaran diri sendiri. Tanpa kemampuan perkembangan untuk menggambarkan tindakan di masa lalu dan masa depan, tidak ada tingkah laku langsung terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungan yang akan terjadi.
d.            Interaksi sistematik antar tutor dan pembelajar dibutuhkan pada perkembangan kognitif. Menurut Bruner, guru, orang tua, dan anggota masyrakat yang lain harus mengajar anak-anak. Lahir dalam lingkungan yang berbudaya tidak serta merta mencukupi bagi perkembangan intelektual. Guru yang diangkat harus dapat menginterpretasikan dan berbagi kebudayaan dengan anak-anak.
e.             Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif. Melalui bahasa  manusia bisa berkomunikasi dengan manusia yang lain, mengajarkan tentang gambarannya tentang dunia kepada orang lain: dengan bahasa kita dapat mengomunikasikan gambaran kita tentang dunia kepada orang lain, dan bagaimana kita bertanya tentang cara dunia berfungsi. Fakta yang penting adalah ketika kita bertambah tua kita belajar menggunakan bahasa untuk memediasi peristiwa di dunia. Kemampuan ini menyediakan mediasi linguistik untuk mengikat suatu peristiwa bersama dengan peristiwa yang lain, memberikan kepada kita untuk mengkodekan peristiwa sehingga kita dapat berhubungan dengan representasi internal ini.
f.             Perkembangan kognitif ditandai adanya peningkatan kemampuan berhubungan dengan beberapa alternatif secara serempak, untuk menyajikan aktivitas bersama dan menyediakan perhatian berurutan terhadap beragam situasi.
Pada tahun 1959, Bruner berpartisipasi dalam konferensi di Woods Hole, Massachussets dihadiri oleh pakar ilmu pengetahuan, psikolog, matematikawan, pendidik, dan sarjana. Konferensi ini bertujuan untuk mencari cara bagaimana pendidikan sains tetap up to date dan meningkatkan porsinya di dalam sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Sebagai editor pada prosiding konferensi tersebut, Bruner menggambarkan ada 4 tema pendidikan. Meskipun tema-tema ini berdasarkan kkontribusi selama konferensi, Bruner mengakui bahwa tema-tema tersebut merefleksikan pandangannya terhadap pendidikan.
Tema pertama adalah pentingnya bagaimana pengetahuan diorganisasi atau distrukturkan.  Menurutnya, kurikulum sekolah harus diubah dan memperhatikan struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena akan membantu siswa melihat fakta-fakta yang terlihat tidak berkaitan ternyata berkaitan satu dengan lainnya dan terhadap informasi yang telah dimiliki siswa. Untuk menyempurnakan perubahan dalam pembelajaran, kita perlu mengidentifikasi metode  mengajarkan struktur dasar dan prosedur menyusun kondisi belajar yang mendukungnya.
Tema yang kedua adalah kesiapan belajar yang berhubungan dengan perkembangan intelektual siswa dan implikasinya terhadap kurikulum dan pembelajaran. Menurutnya, ada beberapa materi pendidikan yang sukar diajarkan pada tahun-tahun awal siswa sekolah (SD) dan mengusulkan untuk membuat segalanya mungkin untuk diajarkan dalam bentuk praktek. Menurut Bruner segala macam materi belajar dapat diajarkan secara efektif kepada siswa pada setiap tingkat perkembangan (Snelbecker, 1974 hal 416). Berdasarkan penelitian tentang perkembangan kognitif, dia berpendapat bahwa setiap orang bahkan anak-anak mempunyai karakteristik dalam memandang dunia dan dapat menjelaskannya. Menurutnya, jika guru memahami bagaimana siswa mengkonsep dunianya, hal ini memungkinkannya mengajarkan pondasi dasar setiap topik: tentu saja dia mengakui bahwa pemahaman topik-topik berdasarkan pengalaman akan lebih diperoleh pada tingkat selanjutnya dari program pendidikan. Oleh karena itu, Bruner menyarankan pendekatan kurikulum spiral dimana topik-topik diberikan secara berulang, dengan setiap perlakuan menjadi agak intuitif dan lebih diformalkan daripada sebelumnya dan mendemonstrasikan hubungan konsep-konsep yang meningkat secara luas.
 Bruner mencirikan aktivitas belajar meliputi tiga proses yang simultan dan mengakui perbedaan situasi belajar. Pertama, perolehan (acquisition) informasi baru yang menggantikan atau memperbaiki pengetahuan awal siswa. Bruner menggambarkan belajar sebagai proses yang bertahap. Kedua, belajar meliputi transformasi pengetahuan sehingga bermanfaat bagi siswa. Melalui transformasi, kita mengubah informasi dengan beragam cara sehingga kita mendapatkan sesuatu yang lebih daripada sekedar fakta yang diberikan. Aspek yang ketiga, evaluasi, menunjuk pada perluasan informas baru yang telah ditransformasikan  sehingga cukup untuk tugas-tugas yang dipilih. Evaluasi ini diberikan kepada siswa dan tugas guru adalah penting dalam membantu siswa mengembangkan keterampilan untuk mengevaluasi kemajuan yang dialaminya.
Tema yang ke-empat memperhatikan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi yaitu teknik intelektual yang masuk akal tetapi dalam formula sementara tanpa melalui tahapan yang analitis dimana formulasi yang ditemukan tersebut valid atau tidak valid (Bruner dalam Snelbecker, 1974 hal 417). Bruner menyarankan agar penelitian dan pembentukan teori mencurahkan perhatian pada identifikasi alat/cara untuk mengembangkan berpikir intuitif dan pengujian ulang terhadap pendekatan prosedur yang sudah ada.
Tema pertama hingga ketiga berkonsentrasi pada usaha untuk melatih siswa berpikir tentang sembarang hal substantif yang diberikan sebaik cara kaum sarjana berpikir tentang hal yang sama. Menurutnya, yang menjadi perbedaan adalah gelarnya bukan jenis berpikir atau proses kognitif di dalamnya. Oleh karena itu, Bruner memperhatikan pentingnya mengajarkan proses kognitif ini kepada siswa ketika siswa pertama kali dikenalkan dengan hal substantif tersebut. Sedangkan tema yang keempat adalah motivasi atau hasrat belajar dan alat yang yang disediakan pendidik untuk menstimulus motivasi. Bruner mengakui bahwa minat belajar banyak dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik. Dalam berbagai tulisan, Bruner menyatakan bahwa pengalaman pendidikan yang menstimulus motivasi adalah pengalaman belajar dimana siswa berpartisipasi secara aktif  dan kompetensi pengalaman personal dalam berhubungan dengan dunianya.
Karakteristik perkembangan kognitif Bruner dinyatakan ketika bekerja dalam penelitian di dalam kelas dengan anak-anak. Berdasarkan observasinya, Bruner mempercayai ada tiga tahap perkembangan bagi siswa untuk merepresentasikan dunia. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana tindakan anak adalah cara untuk memahami lingkungannya. Tahap ini dibutuhkan oleh anak yang sangat kecil. Pada tahap ini, objek adalah apa yang anak dapat lakukan dengannya. Aktivitas memegang, bergerak, menggigit, menjiplak, menyentuh, dan seterusnya memberikan kebutuhan pengalaman anak terhadap objek di dunia. Contohnya anak dapat mendemonstrasikan pemahamannya tentang prinsip seimbang dengan menghubungkannya dengan pengalaman anak bermain jungkat jungkit. Anak kecil juga mendefinisikan kata dalam pola aksi yang diasosiasikan dengan kata tersebut: kursi adalah tempat untuk duduk, sendok adalah alat untuk makan. Ketika anak dalam tahap berpikir enaktik adalah penting untuk membuat kontak terhadap otot-otot anak ketika guru menyampaikan pesan-pesan pembelajaran. Orang dewasa juga dapat kembali pada representasi enaktik ketika belajar sesuatu yang baru khususnya keterampilan motorik baru.  Contohnya ketika mengajarkan seorang dewasa bermain sky. Instruktur sky tidak hanya menceriterakan kepadanya tentang bagaimana bermain sky tetapi mmintanya untuk meniru. Pada tahap enaktik ini, pesan-pesan yang disampaikan akan mudah dipahami dengan sedikit penjelasan kata tetapi lebih banyak kepada aksi.
Tahap kognitif yang kedua adalah tahap ikonik. Tahap ini digunakan pada anak yang lebih tua. Anak belajar berpikir pada tingkat ikonik ketika objek dapat dipahami tanpa aksi. Pada tahap ini informasi dibawa secara imajiner, anak adalah tawanan dari dunia pemahamannya sendiri. Anak dikuasai oleh kecerdasan, kegigihan, keriuhan, dan gerakan. Karakteristik utama lingkungan menjadi perhatian, memori visual dikembangkan, langkah berkesan terjadi. Pada tahap ini anak menggambarkan diagram jungkat-jungkit dan membayangkan prinsipnya tanpa melakukan aktivitas langsung dengan jungkat-jungkit. Hal ini adalah terobosan penting dalam perkembangan intelektual dimana menggunakan gambar/diagram membolehkan anak untuk belajar dengan cara yang mudah.
Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana tindakan non berpikir dan pemahaman memberikan cara bagi sistem simbol. Bahasa, logika, matematika banyak terjadi pada tahap ini. Tahap simbolik memberikan kepadatan yaitu penyingkatan pengalaman ke dalam formula contohnya F = MA, E = MC2 dan ke dalam pernyataan-pernyataan semantik. Formula dan pernyataan ini dikomunikasikan dengan sistem simbol, pengguna dapat memadatkan ide dan dengan demikian menyimpan sejumlah informasi yang luas yang dapat didapatkan kembali dengan mudah dan dapat merepresentasikan dunia dengan tepat. Jungkat-jungkit dapat dijelaskan melalui penggunaan kata. Simbolik menjadikan anak berpikir dengan rapi dan membuat penjelasan yang logis. Bruner mengatakan bahwa dengan representasi simbolik, pengalaman mungkin dapat dikonstruksi dan digunakan untuk mencari model problem solving.
Sedangkan Piaget menyatakan bahwa perkembangan konsep meliputi restrukturisasi fakta dan relasi yang dihasilkan dari interaksi siswa dengan dan manipulasi aktif terhadap lingkungannya. Berdasarkan pada sebagian dugaan perkembangan Piaget, Bruner hanya memfokuskan pada bagaimana hasil dari episode interaktif direpresentasikan pada pikiran siswa. Bruner berkata:
         ”Jika kita akan memperoleh manfaat dari berhubungan dengan keberaturan lingkungan secara berulang, kita harus merepresentasikannya dengan beberapa cara. Untuk menghilangkan masalah ”memori belaka” adalah dengan adanya salah paham terhadapnya. Sesuatu yang penting pada memori adalah tidak menyimpan pengalaman masa lalu tetapi mendapatkan kembali apa yang relevan dengan beberapa bentuk yang dapat dipakai.  Hal ini bergantung pada bagaimana pengalaman masa lalu dikodekan dan diproses sehingga relevan dan dapat dipakai lagi pada saat dibutuhkan. Hasil akhir dari sistem pengkodean dan pemrosesan ini adalah representasi”

         Konsep representasi kognitif menjadi penting selama bertahun-tahun ketika para psikolog berusaha mendefinisikan syarat-syarat proses belajar dan problem solving (pemecahan masalah). Hal yang menjadi bahan kajian adalah tentang relevansi perbedaan cara representasi untuk desain pembelajaran materi matematika.

2.       Belajar Menurut Pandangan Bruner
Menurut Bruner, manusia dapat mengenal/mengetahui dengan tiga cara, yaitu:
a.       Berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu, dalam arti memperlakukan suatu objek: dengan menangani dan memanipulasi suatu objek diketahui apa yang dapat dilakukan dengan objek itu. Cara mengenal ini disebut ”sistem enaktik” (aksi atau urutan gerakan motorik).
b.       Mempunyai bayangan tentang suatu objek, atau menghadapi suatu materi yang diatur-atur dengan mengamatinya baik-baik. Cara mengenal ini disebut ”sistem ikonik”.
c.       Memiliki dan menggunakan simbol-simbol yang mewakili aneka objek. Semua simbol atau segala lambang itu mengandung banyak konsep/bermacam pengertian yang merepresentasikan semua objek itu. Cara mengenal ini disebut ”sistem simbolik”.
Tinjauan belajar menurutnya bersumber pada dua keyakinan dasar yaitu orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya sendiri secara aktif dan sendiripun mengalami perubahan karenanya; serta orang menciptakan sendiri suatu kerangka kognitif bagi diri sendiri yang menghadirkan kenyataan yang dihadapinya. Kerangka kognitif ini disebut dengan ”model of world” (representasi mental dari lingkungan hidup). Dalam menciptakan kerangka kognitif ini manusia muda tidak sekedar membiarkan diri didominasi oleh lingkup hidup, tetapi dia bersikap seolah-olah menyoroti apa yang dijumpainya dan bertekad memberikan makna pada pengalamannya. Pengalaman yang bermakna ini bertumpuk sehingga lama-kelamaan menyerupai suatu bangunan mental yang bagian-bagiannya terintegrasi satu sama lain. Bangunan struktural ini dapat dibayangkan sebagai suatu arsip yang sangat luas secara kualitatif maupun kuantitatif. Di dalam mengembangkan bangunan mental ini pembentukan kosep memegang peran yang penting, demikian pula pengembangan sistematika unutuk menumpang konsep-konsep dalam susunan hirarkis (semacam peta konsep). Mengingat isi konsep dan peta konsep berbeda-beda pada setiap orang, maka kerangka kognitif tidak ada yang seluruhnya sama antar orang.
Kerangka kognitif yang terbentuk tidak bersifat statis dan dapat berubah lebih-lebih pada manusia muda yang masih belajar di sekolah. Perubahan ini terjadi karena pergeseran konsep yang telah dimiliki dan pada susunan hirarki konsep yang digunakan sebelumnya. Selama belajarnya siswa harus menemukan sendiri struktur dasar dari materi yang dipelajari dan pada akhirnya dari bidang studi yang bersangkutan melalui corak berpikir yang disebut ”berpikir induktif.  Corak berpikir ini bertolak dari sejumlah contoh dan mencari kaidah yang terkandung dalam cotoh-contoh tersebut. Misalnya siswa dihadapkan pada sejumlah pigura geometris dan harus menentukan sendiri apakah diantara semua pigura tersebut ada yang dapat dikelompokkan dalam suatu golongan tertentu seperti segitiga, jajar genjang, persegi, dll. Cara belajar ini oleh Bruner disebut belajar dengan menemukan sendiri (discovery learning) yang menggunakan corak berpikir induktif dengan membuat perkiraan yang masuk akal atau menarik kesimpulan yang kiranya harus ditarik.  Sebagai hasil cara belajar ini siswa mendapat pengetahuan  dan pemahaman baru, yang kemudian dikaitkan dengan kerangka kognitif yang sudah dimiliki sehingga kerangka itu berubah dalam arti ada yang digeser, dikurangi, atau ditambah.
Bruner beranggapan bahwa cara belajar dengan menemukan sendiri ini sesuai dengan hakikat manusia sebagai seorang yang mencari-cari secara aktif dan menghasilkan pengetahuan dan pemahaman yang bermakna. Kelebihannya adalah dengan cara belajar ini hasilnya akan lebih berakar dan mengendap daripada cara belajar lain, lebih mudah dan cepat akan dapat dimanfaatkan dalam bidang studi yang lain atau dalam kehidupan sehari-hari, dan berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan siswa bernalar dengan baik.
3.   Representasi Kognitif Konsep-Konsep Matematis
Pengertian representasi dapat berbeda-beda tergantung pada konteks pembicaraannya. Dalam psikologi, representasi berarti proses memodelkan sesuatu yang konkret di dunia nyata ke dalam konsep yang abstrak atau simbol. Jonnasen (Hwang, 2007) mengartikan model mental sebagai representasi mental kompleks yang menyusun beragam jenis komponen mental seperti metapora, struktur pengetahuan, visual-spasial. Sedangkan dalam psikologi matematika, representasi adalah gambaran hubungan antara objek dan simbol. Lesh, Post & Behr (Hwang, 2007) menyatakan ada lima representasi dalam pembelajaran matematika yaitu representasi objek dunia nyata, representasi konkret, representasi simbolik aritmatik, representasi bahasa, dan representasi gambar atau grafik. Representasi matematika merujuk pada proses konstruksi, abstraksi, dan demonstrasi pengetahuan matematis. Representasi konsep dan prinsip matematis,dan situasi masalah adalah isu dalam pembelajaran matematika di tahun 1980an (Luithel, 2002).
Representasi sebagai gambaran mental merupakan proses belajar yang dapat dimengerti dari pengembangan mental yang sudah ada (dimiliki seseorang) yang tercermin sebagaimana yang terungkap seperti yang divisualisasikan dalam wujud antara lain verbal, gambar, dan benda konkret. Representasi dapat dinyatakan sebagai internal dan eksternal. Berpikir tentang ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal yang wujudnya berupa verbal, gambar, dan benda konkret. Berpikir tentang ide matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar tersebut merupakan representasi internal. Representasi internal tidak dapat diamati karena terdapat di dalam mental (Hieber dan Carpenter dalam Hudojo, 2005). Dengan pengertian seperti ini, representasi menjadi penting baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai alat berpikir. Representasi menjadikan matematika lebih konkret sehingga memudahkan adanya refleksi. Di samping itu, siswa terbantu dalam mengembangkan penalarannya karena siswa terbantu dalam mengorganisasikan berpikirnya sehingga memudahkan untuk mengembangkan bervariasinya pendekatan untuk mengklasifikasikan atau memperjelas pemahaman terhadap penalarannya. Karena itu, siswa dapat memfokuskan hal-hal yang esensial dari suatu situasi matematik.
Representasi memberikan kemampuan siswa untuk mengkonstruksi pemahaman dengan penalarannya yang kemudian mengkomunikasikan serta mendemonstrasikan pengalaman tersebut. Dengan representasi siswa menjadi lebih mudah berdiskusi dalam kelompoknya.
Lester & Kehle (dalam Hudiono, 2006) menyatakan bahwa dalam aktivitas matematika yang ideal melibatkan beberapa tahapan yang diawali dari suatu konteks real atau matematika dilakukan penyederhanaan sehingga terbentuk suatu masalah. Selanjutnya melakukan abstraksi masalah dalam bentuk berbagai representasi matematika yang mungkin, selanjutnya dengan melakukan penghitungan atau eksekusi hingga diperoleh suatu solusi.
Dari tahapan tersebut, kemampuan seseorang dalam berbagai representasi memiliki peran yang tidak kecil. Dalam pembelajaran matematika penggunaan simbol dalam matematika sangat kental dan tidak dapat diabaikan. Janvier (dalam Hudiono, 2006) mengungkapkan bahwa penggunaan simbol-simbol yang melibatkan proses translasi merupakan proses yang melibatkan berpikir matematika tingkat tinggi termasuk melakukan  proses  dari satu model representasi ke model lain. Lesh, Post, & Behr (dalam Hudiono, 2006) mendeskripsikan peran dan translasi pada sistem representasi dalam lima tipe yaitu real script, manipulative models, static picture, written symbols, dan spoken language yang semuanya saling berinteraksi. Sedangkan menurut McCoy, Baker & Little (dalam Hudiono, 2006) mengungkapkan bahwa untuk mengoptimalkan potensi kecerdasan yang dimiliki siswa, perlu dilakukan perubahan pendekatan belajar yaitu dari cara biasa dilakukan secara konvensional dengan meminta siswa melakukan proses translasi dari soal cerita ke penyelesaian tunggal, diubah menjadi mendemonstrasikan pemahamannya tidak hanya proses translasi dari deskripsi verbal ke translasi lainnya tetapi juga sebaliknya yaitu melakukan proses translasi dari berbagai model representasi menjadi deskripsi verbal. Oleh karena itu menurut Rivera (dalam Hudiono, 2006) perlu adanya upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang mengaktifkan siswa dan terjadi discourse dengan melibatkan kemampuan melakukan translasi multirepresentasi yang meliputi deskripsi verbal, tabel, grafik dan formula, agar pemahaman konsep siswa menjadi optimal.
Menurut Confrey (dalam Hudiono, 2006), dari aspek teori belajar, pengembangan daya representasi didasarkan pada pandangan Vygotsky yaitu perkembangan kognitif siswa sangat dipengaruhi antara aktivitas individu dengan lingkungan luar atau interaksi ini mengakibatkan bahwa internalisasi merupakan suatu proses sosial sedangkan sistem representasi merupakan bagian dimana pembentukannya diawali dengan faktor eksternal yang dilanjutkan dengan internalisasi.
Dari teori Vygotsy, Tchoshanov membedakan kemampuan berpikir berdasarkan peran representasi siswa dalam bentuk representasi kognisi tingkat tinggi dan tingkat rendah. Pada tingkat tinggi, representasi memiliki peran yang esensial dalam pemecahan  masalah, memberikan gambaran menyeluruh, mempermudah proses pengkodean informasi, menjawab pertanyaan ”bagaimana” dan ”mengapa”, lebih dinamis, dan menekankan keterkaitan berbagai representasi. Sedangkan pada tingkat rendah representasi hanya sebagai penyerta, menekankan pada bagian tertentu, memerlukan kemampuan memori, menjawab pertanyaan ”apa”, lebih statis, dan menekankan pada satu model representasi.
Dalam membangun konsep matematika, siswa tidak cukup hanya melakukan berbagai aktivitas translasi. Siswa harus membangun dengan cara mengaitkan ide-ide yang dimilikinya secara bermakna. Kecenderungan berkaitan dengan pendekatan siswa dalam bentk pengetahuan yang terbagi-bagi karena kurangnya batasan konteks. Artinya permasalahan dengan konteks yang jelas dapat mengurangi kesulitan dalam membangun hubungan di antara bagian-bagian pengetahuan. Jadi pengetahuan siswa tentang suatu konsep akan menjadi stabil jika mereka dapat mengartikulasi perbedaan representasi dari konsep-konsep yang dipelajari.
Teori perkembangan kognitif Bruner memfokuskan pada bagaimana anak berpikir sebaik dengan bagaimana anak belajar dan bagaimana anak dapat dibantu agar dapat belajar dengan  baik. Berdasarkan teori perkembangan kognitif anak Bruner yang membagi 3 tahap perkembangan yaitu enaktif (konkret : melalui aktivitas objek), ikonik (penggambaran: melalui visual/image), dan simbolik (abstraksi : melalui kata dan angka) maka Bruner menggambarkan cara representasi (mode representation) yaitu cara konseptual dimana informasi disajikan ada tiga: enaktif, ikonik, dan simbolik. Representasi enaktif berarti cara merepresentasikan kejadian masa lalu dengan pendekatan respon motorik. Cara ini dilakukan oleh bayi sebagai cara mengingat sesuatu dimana Piaget menyebutnya dengan tahap sensorimotorik, dicontohkan bayi yang bermain dengan mainan sesaat setelah menjatuhkan mainan tersebut mengindikasikan bayi mengingat objek yang berhubungan dengan tingkah laku yang diberikan padanya. Demikian juga orang dewasa yang menunjukkan aktivitas motorik kompleks secara enaktif.  Contohnya otot kita masih mengingat ketika kita bersepeda lagi setelah bertahun-tahun tidak bersepeda. Cara ini yang dapat kita lihat ketika anak-anak memikirkan masalah penjumlahan  dengan mengetukkan jari-jarinya pada dagunya atau bagian atasnya sebagai gerakan menghitung yang nyata.  Menghitung pada anak-anak ini masih direpresentasikan sebagai aktivitas motorik, cara yang sama dengan ketika anak belajar menghitung blok dengan mengetukkan masing-masingnya berturut-turut.
Pada tahap ini, guru perlu memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk bertindak menurut objek (manipulatif). Guru memberikan pengalaman belajar yang relevan dengan matematika. Manipulatif yang dilakukan harus cocok dengan tingkat perkembangan anak dan menutup adanya celah antara matematika sekolah informal dan formal. Pemahaman hubungan antara matematika formal dan informal sangat penting. Guru dapat memfasilitasi hubungan tersebut dengan mengobservasi anak dengan hati-hati ketika anak bekerja dengan manipulatif dan material yang lain.
Representasi yang kedua yaitu ikonik, membawa kita dari konkret dan fisik ke alam imajiner mental. Menurut Bruner, representasi ikonik terjadi ketika anak ”menggambarkan” operasi atau manipulasi sebagai cara bukan hanya untuk mengingat aktivitas tetapi juga melukiskan kembali secara mental jika diperlukan. Beberapa keadaan mental tidak meliputi setiap detil dari apa yang terjadi tetapi ringkasan kejadian dengan hanya menunjukkan karakteristiknya yang penting. Pada kasus orang dewasa, orang yang memberitahukan alamat kepada orang asing dengan cara menggambarkan jalan-jalan yang akan dilalui selama perjalanannya untuk menuju alamat yang diinginkan dan menyebutkan toko obat pada pojok jalan sebelum belok kiri bukannya menggambarkan setiap rumah, pohon dan hidran pemadam sepanjang jalan. Sama dengan apa yang dilakukan seorang anak laki-laki belajar seriasi menyimpannya sebagai menggambarkan pengalamannya dengan aktivitas meyusun blok berdasarkan urutan ukurannya sehingga pembelajaran selanjutnya terhadap seriasi dipahami dengan referensi anak untuk membayangkan apa yang dia lakukan sebelumnya.
Dalam pembelajaran, pembelajar dapat menyampaikan pemahamannya melalui percakapan atau menciptakan image mental atau gambaran pemahaman konkretnya (Sperry Smith dalam Gallenstein, 2005). Anak dapat didorong untuk menggambar gambar/image tentang yang sebelumnya dilakukan kemudian menjelaskan gambaran yang dibuatnya. Guru harus mendengarkan penjelasan anak dan bertanya untuk menunjukkan bahwa guru merespon penjelasan anak. Anak perlu diberi banyak kesempatan untuk berbagi pemahamannya pada tahap ikonik ini. Objek-objek nyata digunakan untuk meng hubungkan representasi gambaran anak sangat membantu anak melalui tahap ini. Guru dapat menyediakan material bergambar atau membuatnya sendiri dari majalah, gambar pada buku, dll. Guru perlu menyadari pemahaman anak terhadap tiap konsep atau topik sehingga guru menyediakan petunjuk-petunjuk yang tepat yang dapat membantu anak mengkonstruksi pengetahuannya. Setelah anak berpengalaman dengan tahap ini maka anak dapat berpengalaman dengan tahap selanjutnya.
Representasi simbolik, cara ketiga teori Bruner untuk memperoleh pengalaman dalam memori, memanfaatkan kompetensi bahasa. Simbol adalah kata atau tanda yang berarti sesuatu tetapi tidak ada cara menyerupai sesuatu tersebut. Simbol sangat abstrak. Contohnya, angka 8 tidak terlihat seperti menyusun blok dengan sifat bilangannya dan juga kata ”delapan”. Simbol ditemukan orang untuk menunjuk pada objek tertentu, kejadian, dan ide, dan pengertiannya dibagikan secara luas karena orang telah menyetujui simbol-simbol tersebut. Ketika seorang anak mulai menulis operasi-operasi matematisnya (menggunakan angka), format sederhana seperti persamaan dan kolom: tanda operasional lainnya +,-,=) maka ini adalah awal dari representasi simbolik sebagai kemampuan anak untuk ”membaca ” notasi matematis. Kemudian anak belajar berpikir tentang tingkah laku syarat-syarat simbol yang sama yang membuka kemungkinan berpikir abstrak.
Perbedaan antara representasi enaktif, ikonik, dan simbolik dibuat konkret dalam prinsip jungkat-jungkit untuk mencari titik seimbang. Seorang anak beraktivitas dengan jungkat-jungkit dan menunjukkan bahwa dia dapat berbuat sehingga mampu seimbang. Dia tahu bahwa agar posisi dirinya turun maka dia harus berada jauh dari pusat jungkat-jungkitnya. Pada tahap ini, anak melakukan representasi enaktik. Seorang anak yang lebih tua mampu merepresentasikan jungkat-jungkit dengan membuat model seperti timbangan beras yang dilengkapi cincin yang menggantung dan seimbang atau dengan menggambar. Gambaran tentang jungkat-jungkit dapat diperhalus dengan membuat gambar sederhana seperti yang banyak terdapat dalam buku tek fisika. Pada tahap ini, anak melakukan representasi ikonik. Akhirnya prinsip jungkat-jungkit dapat dinyatakan dengan istilah tanpa bantuan diagram atau dapat disajikan dengan lebih baik secara matematis yaitu  hukum momen Newton. Pada tahap ini, anak melakukan representasi simbolik.
Cara representasi enaktif, ikonik, dan simbolik berkaitan perkembangannya, menurut pandangan Bruner. Cara representasi tersebut berkembang ketika setiap cara representasi tergantung pada cara representasi yang mendahuluinya dan membutuhkan hubungan yang erat dengan praktek sebelum transisi terhadap cara representasi selanjutnya dapat terjadi. Formulasi cara representasi ini disebut teori tingkat perkembangan intelektual Bruner. Dalam beberapa cara sama dengan teori Piaget yang terinspirasi dengan kerja Genvan, tetapi keduanya berusaha menerima perbedaan interpretasi di dalam kelas. Piaget menekankan kepada kesiapan anak sebelum mencoba mengajarkan konsep yang bergantung kepada operasi konkret yang dimiliki anak, operasi formal sedangkan Bruner menekankan pada aplikasi secara langsung di kelas. Bruner berkata bahwa beberapa ide atau masalah atau kumpulan pengetahuan  dapat disajikan dengan cara yang sederhana sehingga pembelajar dengan kebutuhan khususpun dapat memahaminya. Dengan kata lain Bruner merasa ada cara untuk menyajikan konsep yang rumit sehingga anak dengan beragam umur dapat memahaminya pada tingkat kemampuan dan pengalaman intelektualnya. Kepercayaan Bruner terhadap kemampuan anak diperkuat dengan usaha yang dilakukannya ketika mengajar anak usia sekolah dasar beberapa topik seperti persamaan kuadrat dan sifat-sifat grup matematis.
Memperluas perkembangan kerja Bruner dalam resep pembelajaran kelas, dia menyatakan jika intelektual  berkembang dengan urutan enaktif-ikonik-simbolik, kemudian dia membuat pengertian untuk mengajarkan beberapa kosep berdasarkan urutan tersebut. Hal ini berakibat bahwa perkembangan konsep sejajar dengan teori umum perkembangan intelektual. Dalam pembelajaran, kuncinya adalah menyajikan konsep dengan cara yang dapat direspon secara langsung terhadap cara representasi yang telah dirumuskan. Cara dimana manusia menyajikan aktivitas, objek, ide secara mental yang diterjemahkan menjadi cara menyajikan konsep di kelas. Meskipun beberapa anak sungguh-sungguh ”siap” untuk representasi simbolik, akan sangat bijaksana ketika menggunakan representasi ikonik sehingga anak memiliki bayangan mental untuk mundur ke manipulasi simboliknya yang gagal.
Menurut Sperry Smith (dalam Gallenstein, 2005), aplikasi 3 cara representasi tersebut dalam pembelajaran matematika adalah secara fisik melakukan aktivitas matematika menggunakan manipulatif, melakukan aktivitas mental matematika dengan berpikir berkenaan dengan ingatan petunjuk secara visual, auditori atau kinestetik dan pada akhirnya mampu menggunakan simbol angka dengan maknanya. Dengan membolehkan anak melalui tiga tahap perkembangan berpikir ini, guru telah menyediakan kesempatan kepada anak untuk memiliki pengetahuannya sendiri dan memahami dengan menciptakan ulang, mendefinisikan ulang, dan merekonstruksi konsep menurutnya sendiri sehingga anak mempunyai pemahaman personal tentang konsep-konsep.
4.   Proses Berpikir menurut Bruner
Dalam pandangan pendidik, psikologi kognitif memperhatikan terjemahan perbaharuan  secara langsung yang menekankan strategi kognitif dan pengakuan pentingnya hubungan di antara informasi. Pendidik menyarankan dua hal yaitu kurikulum sekolah (dan presentasi guru terhadap kurikulum tersebut) yang diorganisasi untuk mengungkapkan dan menekankan pentingnya hubungan, dan yang kedua sekolah memberikan perhatian yang sistematis dan hati-hati untuk mengembangkan strategi yang meliputi merasakan, menginterpretasi, mengorganisasi, menganalisis, evaluasi, menyimpan, dan mendapatkan kembali informasi.
Sejumlah ahli teori kognitif merefleksikan dua aplikasi tersebut dengan jelas, satu diantaranya adalah Jerome Bruner dengan Teori Kategorisasi. Psikologi kognitif mengasumsikan bahwa pembelajar adalah pemroses informasi aktif. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagimana pembelajar mendapatkan informasi dari lingkungan, bagimana informasi diorganisasi dan diinterpretasi, dan bagaimana informa digunakan. Teori Bruner ini memberikan sejumlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
a.      Berpikir dan Kategorisasi
Dalam kehidupan sehari-hari mengkonsep adalah berpikir. Dalam beragam pendekatan psikologis, konseptualisasi adalah membentuk atau mengetahui (menyadari) konsep. Konsep dapat didefinisikan sebagai suatu abstraksi yang merepresentasikan objek, pengalaman, atau ide-ide yang memiliki sifat-sifat yang sama. Ungu adalah konsep, merepresntasikan semua panjang gelombang yang diinterpretasikan sama karena sifat-sifat fisiknya. Manusia adalah konsep yang berhubungan dengan organisme yang mempunyai dua kaki, dua tangan, memiliki pandangan yang meneropong jauh, dan memiliki kemampuan berbicara, dengan kata lain semua organisme yang sama dalam hal-hal tertentu.
Bruner menggunakan istilah konseptualisasi yang sinonim dengan istilah kategorisasi. Mengkategori adalah membentuk konsep. Dengan kata lain kategori adalah konsep. Dalam suatu pandangan, kategori adalah representasi objek atau kejadian yang memiliki sifat-sifat yang sama. Contohnya burung adalah kategori yang merepresentasikan binatang dengan bulu-bulu, sayap, dua kaki, dan paruh. Dalam pandangan yang lain, kategori adalah aturan. Aturan untuk mengelompokkan hal-hal yang ekivalen karena dimanapun 2 objek ditempatkan dalam kategori yang sama, akibatnya 2 objek tersebut dalam beberapa hal mempunyai kesamaan. Dua objek yang ditempatkan dalam kategori burung adalah ekivalen dalam pandangan bahwa masing-masing mempunyai bulu, sayap, 2 kaki, dan 1 kepala. Dengan demikian kedua objek tersebut adalah burung, burung yang satu sama dengan burung yang lain dalam hal sifat-sifat burungnya. Dengan kata lain keduanya berhubungan.   
b.      Kategori dan Atribut
Sebagai aturan, kategori menentukan pentingnya karakteristik objek/kejadian. Kategori burung digambarkan sebagi kumpulan 4 aturan sebagai berikut.
1)      Agar menjadi burung, suatu objek harus mempunyai bulu, 2 kaki, 1 kepala, 2 sayap, dan sebagainya.
2)      Kepala harus melekat di atas bahu, sayap harus simetris dan satu sayap harus berada di satu sisi tubuh dan sayap yang lain berada di sisi tubuh yang lain, kaki harus kontak dengan tanah ketika berdiri, dan sebagainya.
3)      Jika objek hanya mempunyai 1 atau 2 bulu maka objek tersebut masih dikategorikan burung.
4)      Agar berbulu, objek harus menunjukkan karakteristik tertentu, kepala dikenali dengan sifat-sifat tertentu, kaki juga harus nyaman dengan standar tertentu.
Empat kelompok aturan tersebut mungkin masih menggambarkan kondisi umum yang ditentukan relatif terhadap atribut dan nilai (Bruner, Goodnow, dan Austin dalam Lefrancois, 1991, hal 86). Atribut adalah sifat/karakteristik objek/kejadian. Sifat ini dapat beragam dari 1 objek dengan objek yang lain dan terkadang digunakan untuk mendefinisikan kategori. Nilai adalah variasi yang mungkin untuk atribut. Contohnya atribut merah dapat beragam nilainya mulai dari kekuningan (jeruk) hingga merah tua, atribut seks hanya ada 2 nilai yaitu laki-laki dan perempuan.
Kategori sebagai aturan menentukan:
1.            Atribut objek harus dimiliki
2.            Cara dimana atribut-atribut akan dikombinasikan
3.            Pentingnya beragam atribut baik tunggal maupun dengan kombinas
4.            Batasan penerimaan nilai atribut.
Daftar aturan yang disebutkan sebelumnya tentang kategori burung mengillustrasikan 4 spesifikasi umum di atas bagi anggota kategori. Dimanapun atribut digunakan sebagai bagian definisi kategori maka atribut tersebut disebut dengan atribut kriteria. Nyatanya tidak setiap sifat objek penting untuk menempatkan objek dalam kategori. Contohnya satu burung mungkin memiliki setumpuk bulu di belakang kepalanya, burung yang lain mungkin saja botak. Namun keduanya tetap dikategorikan sebagai burung. Oleh karena itu lokasi bulu tidak relvan dengan kategori burung.
c.       Kategorisasi dan Pemfungsian Manusia
Bruner menyatakan bahwa interaksi manusia dengan dunia selalu melibatkan kategori. Aktivitas seperti persepsi, konseptualisasi, dan membuat keputusan dapat dideskripsikan dalam pola formasi dan menggunakan kategori yang tidak hanya bermanfaat tetapi juga penting untuk mmahami dan berhubungan dengan dunia. Untuk lebih sederhana, pencapaian kategori meliputi lima hal. Pertama, kategori mengurangi kekompleksan lingkungan. Kita dapat merespon terhadap objek-objek yang berbeda seolah-olah mereka sama dan sebaliknya susunan objek/kejadian asing yang mmbingungkan menjadi lebih mudah disusun. Sekelompok besar manusia dapat dianggap sebagai kumpulan lengan, kaki, mulut, kepala, dan sebagainya.
Kedua, mengkategori membolehkan adanya pengakuan objek. Bruner menyatakan bahwa hanya melalui penggunaan kategori maka objek akan diakui. Jika suatu objek tidak cocok dimasukkan dalam kategori tertentu dengan beragam cara, maka objek tersebut tidak dapat didefinisikan, demikian juga pengalaman perasaan tidak dapat dikomunikasikan. Objek diakui karena objek tersebut sama dengan objek lain di kelasnya. Sebuah bolpoint diidentifikasi sebagai bolpoint bukan karena bentuknya  panjang tetapi karena dapat digunakan untuk membuat coretan di kertas. Jajar genjang dan trapesium adalah segiempat karena sifat-sifatnya merupakan sifat-sifat segiempat dan secara prinsip sifat-sifatnya sama dengan sifat-sifat bangun datar lain yang masuk dalam kategori segiempat.
Ketiga, kategorisasi mengurangi kebutuhan belajar konstan. Hal ini dilakukan dengan cara membuatnya mungkin bagi individu untuk mendapatkan lebih dari sekedar informasi yang diberikan dan aksi yang tidak hanya menuntun identifikasi objek tetapi membolehkan adanya kesimpulan  (inferensi) tentang objek (Bruner dalam Lefrancois, 1991, hal 87). Jika setiap saat kita melihat objek sesederhana sekotak kapur, kita tidak perlu belajar lagi untuk menegaskan bahwa objek ini adalah kapur dan bahwa kapur ini dapat digunakan untuk menggambar garis di papan tulis. Kita hanya perlu melihat sekotak kapur yang ada di dudukan papan tulis untuk secara langsung membuat persepsi sederhana, mengidentifikasi objek dan membuat bragam ksimpulan tentang kualitas dan fungsinya.
Keempat, pencapaian kategori adalah bahwa kategorisasi menyediakan petunjuk bagi aktivitas. Kita tidak tahu bagaimana memperlakukan objek kecuali kita dapat mengkategorikannya (dan kemudian mengakuinya). Nyatanya, aksi berlari dari beruang yang sedang marah diikuti pengakuan bahwa bukan hanya ada kategori beruang saja tetapi juga kategori marah sehingga akan mngambil kesimpulan untuk lari. Akhirnya mengkategori membolehkan individu berhubungan dengan objek dan kelas-kelas pristiwa. Sekali lagi kategori mengurangi kekompleksan lingkungan.
d.      Sistem Pengkodean dan Struktur Kognitif
Tidak semua kategori berada pada tingkat perumuman yang sama. Ada kategori-kategori tertentu yang didefinisikan dengan penggambaran yang relatif detil terhadap anggota-anggota atribut. Contohnya konsep pir, apel, jeruk adalah spesifik. Bentuk umumnya yang disebut dengan kategori generik adalah dapat dikonsumsi (consumables). Kategori generik memasukkan kategori-kategori yang lebih spesifik. Diantara 2 kategori ini masih ada kategori-kategori lain yang dapat menjadi lebih generik. Sistem pengkodean dalam pandangan Bruner adalah metafora untuk struktur kognitif. Gambar 3 berikut menyajikan contoh sederhana sistem pengkodean menyusun kategori pada beragam tingkat perumuman.














Formasi kode-kode generik penting karena perannya dalam proses kognitif seperti mengingat, menemukan, dan belajar. Bruner menyatakan bahwa untuk mengingat sesuatu cukup dengan mengambil kembali sistem kode dalam pikiran. Contoh berikut ini mengillustrasikan peran pengkodean dalam penemuan dan transfer. Ketika ingin mengklasifikasikan belah ketupat sebagai konsep apa. Tentu saja dilihat sifat-sifat belah ketupat. Ternyata belah ketupat berdimensi dua maka dikategorikan bangun datar. Selanjutnya dilihat dari jumlah sisinya ada empat maka dikategorikan sebagai segiempat. Akhirnya dites sifat-sifat segiempat yang lain apakah ada dalam belah ketupat. Dengan sistem pengkodean ini dapat ditemukan bahwa belah ketupat adalah segiempat.
Sistem pengkodean tidak hanya berkaitan dengan penemuan, tetapi juga transfer (menerapkan respon sebelumnya yang telah dipelajari ke dalam situasi baru). Jelasnya, menempatkan objek-objek baru dalam sistem pengkodean memfasilitasi transfer yang tidak hanya membolehkan objek-objek baru berhubungan dengan objek lain tetapi juga menyarankan respon terhadapnya.
Dalam sistem Bruner, berpikir (konseptualisasi) dan persepsi melibatkan proses yang identik dengan kategori. Bruner membuat perbedaan diantara keduanya tidak jelas, kecuali klaim bahwa konseptualisasi adalah apa yang dipindahkan dari sensasi langsung daripada dari persepsi. Untuk memperjelas, bagaimanapun juga proses persepsi pada dasarnya mmperhatikan identifikasi stimulus input.
Dalam teori Bruner ini jelas mengatakan bahwa untuk mengidentifikasi objek adalah dengan menempatkannya pada kategori yang tepat. Ketidakpahaman adalah fungsi pengkategorian yang tidak tepat. Untuk merasakan dengan tepat tidak hanya membutuhkan belajar kategori yang tepat tetapi juga mengetahui isyarat apa yang digunakan untuk menempatkan objek pada kategori tersebut. Hal ini sangat membantu untuk mengetahui objek apa yang sering muncul dalam lingkungan.  Dengan kata lain, siswa tidak akan mengakui sekotak kapur sampai mereka telah belajar apa itu kapur (belajar kategori) dan sampai mereka telah belajar bahwa bentuk dan warnanya adalah isyarat yang tepat untuk mengkategorikan kapur. Selanjutnya siswa tahu bahwa kapur akan dengan mudah ditemukan di dekat papan tulis dan bukannya di meja makan (kecuali yang dimakan adalah kapur).  
Bruner sebagai penganut psikologi kognitif dan gestalt memandang bahwa tujuan akhir dari mengajar adalah memajukan “pemahaman umum dari struktur persoalan subjek”. Ketika siswa memahami struktur subjek (mata pelajaran) maka dia melihatnya sebagai suatu keseluruhan. Menggenggam struktur subjek adalah memahaminya dalam cara yang membolehkan banyak hal lainnya berhubungan dengan subjek itu secara bermakna. Bruner menekankan dalam belajar membentuk konsep global, membangun generalisasi yang logis, menciptakan kognitif Gestalt. Bruner selalu menyampaikan kepada guru-guru untuk membantu memajukan kondisi dimana siswa dapat merasakan struktur subjek yang diberikan guru. Belajar dengan berdasarkan pada struktur subjek maka apa yang dipelajari akan tersimpan lebih lama dan tidak mudah dilupakan siswa. Contohnya seorang siswa yang belajar matematika hanya 1 kali maka detil matematika akan dilupakan setelah bertahun-tahun tidak belajar matematika, namun detil tersebut akan dengan mudah direkonstruksi jika struktur umumnya masih ada.
Bruner menyebutkan bahwa posisinya adalah dalam teori pembelajaran bukannya teori belajar. Menurutnya teori belajar adalah deskriptif, yang menggambarkan apa yang akan terjadi setelah fakta. Sedangkan teori pembelajaran bersifat memberikan petunjuk: menentukan kemajuan dalam hal bagaimana subjek yang diberikan dapat diajarkan dengan baik. Jika teori belajar menyatakan bahwa anak usia 6 tahun belum siap untuk memahami konsep yang dapat dibalik, maka teori pembelajaran dapat menentukan bagaimana cara yang terbaik untuk membawa anak menghadapi konsep tersebut pada waktu dia sudah cukup usia untuk memahaminya.
Teori pembelajaran Bruner memiliki empat prinsip utama yaitu motivasi, struktur, urutan, dan penguatan.
1)            Prinsip I: Motivasi (Motivation)
Motivasi adalah kondisi yang mempengaruhi individu untuk belajar. Bruner meyakini bahwa kebanyakan anak telah ”terpasang tetap” akan belajar. Namun Bruner tidak membuang ide tentang penguatan. Penguatan /penghargaan eksternal penting dalam memulai tindakan tertentu anak atau meyakinkan bahwa tindakan tersebut akan diulang. Namun Bruner tetap berpegang teguh bahwa melalui motivasi intrinsik, anak akan terus belajar. Bruner lebih banyak memperhatikan munculnya motivasi intrinsik daripada motivasi eksternal yang sifatnya tidak kekal.
Contoh motivasi intrinsik adalah rasa ingin tahu. Bruner percaya bahwa manusia di dunia ini dilengkapi dengan keingintahuan. Rasa tersebut relevan dengan kebutuhan biologis, rasa ingin tahu penting bagi makhluk hidup untuk mempertahankan hidupnya. Anak kecil terkadang terlalu ingin tahu, mereka tidak dapat menetap hanya pada satu aktivitas saja. Rasa ingin tahunya membawa mereka berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain dalam rangkaian yang cepat. Rasa ingin tahu berhubungan dengan pencarian intelektual yang semakin kuat.
Motivasi lainnya adalah stimulus (rangsangan) untuk mencapai kompetensi. Anak-anak menjadi tertarik dalam hal apa yang menurutnya akan memberikan tantangan dan sangat sulit untuk meminta anak melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak memiliki derajat kompetensi. Hal ini mengakibatkan adanya hubungan timbal balik sebagai motivasi yang dibangun oleh manusia. Hubungan timbal balik meliputi kebutuhan untuk bekerja dengan manusia lain secara kooperatif dan masyarakat sendiri adalah dikembangkan sebagai hasil hubungan timbal balik ini.
Motivasi intrinsik diberikan kepada anak dan akan memberikan dukungan. Oleh karena itu guru harus memfasilitasi dan mengatur eksplorasi pilihan-pilihan dari siswa. Belajar dan problem solving bergantung pada eksplorasi alternatif sehingga menjadi inti dari tugas yang harus dilaksanakan guru dan merupakan hal yang penting untuk menciptakan kecenderungan pencarian belajar jangka panjang. Eksplorasi alternatif ini meliputi 3 fase yaitu aktivasi (activation), pemeliharaan (maintenance), dan petunjuk (direction).
Untuk mengaktivasi eksplorasi, dalam hal ini untuk membuat anak memulai belajar, anak harus mempunyai pengalaman tingkat tertentu tentang kebimbangan. Jika tugas yang diberikan terlalu mudah maka anak bosan untuk mngeksplorasi alternatif, begitu juga jika tugas terlalu sulit maka anak akan takut untuk mengeksplorasi alternatifnya. Guru harus memberikan masalah kepada siswa tingkat kesukarannya cukup dimana anak memiliki motivasi intrinsik yaitu rasa keingintahuan untuk mengaktifkan eksplorasinya sendiri.
Setelah diaktivasi maka eksplorasi harus dipelihara. Hal ini akan menjamin anak bahwa eksplorasinya tidak menjadi pengalaman yang berbahaya/menyakitkan. Anak harus memandang bahwa eksplorasi dengan bimbingan guru memiliki resiko yang kecil. Manfaat eksplorasi harus lebih besar daripada resikonya. Eksplorasi yang bermanfaat harus mempunyai petunjuk. Petunjuk eksplorasi adalah fungsi dua hal yaitu pengetahuan tujuan dan pengetahuan bahwa eksplorasi alternatif relevan dengan pencapaian tujuan. Anak harus tahu tujuan apa yang akan dicapai dan bagaimana mencapainya.
Prinsip pertama ini mengindikasikan bahwa anak telah dibangun untuk belajar. Guru harus mengatur dan mempertinggi motivasi anak sehingga anak akan memandang bahwa eksplorasi terbimbing lebih bermanfaat daripada belajar spontan yang dicapainya sendiri. Prinsip pertama ini adalah suatu bentuk justifikasi bagi sekolah formal.   
2)            Prinsip II: Struktur (structure)
Struktur menyatakan bahwa sembarang daerah subjek yang diberikan, sembarang tubuh pengetahuan (body of knowledge) dapat diorganisasi secara optimal sehingga dapat dikirimkan dan dipahami oleh sebagian besar siswa. Jika distruktur dengan tepat, ide/masalah/tubuh pengetahuan dapat disajikan dalam bentuk yang sederhana sehingga siswa tertentu dapat memahaminya dalam bentuk yang diakui. Hal ini tidak untuk menyatakan bahwa nuansa teori Einstein tentang relativitas dapat dikuasai sepenuhnya oleh anak 6 tahun. Struktur tubuh pengetahuan dapat dikarakteristikkan dengan 3 cara yaitu cara penyajian (mode of presentation), ekonomi penyajian (economy of presentation), dan kekuatan penyajian (power of presentation)
Cara penyajian (mode of presentation) meliputi teknik, metode dimana informasi dikomunikasikan. Salah satu alasan guru gagal menyampaikan beberapa hal dasar terhadap ketidakpahaman anak adalah bahwa cara penyajian guru belum tepat dengan tingkat pengalaman anak. Anak akan tetap tidak paham selama pesan tidak dipahami. Bruner mempercayai bahwa orang mempunyai 3 cara untuk mencapai pemahaman yaitu representasi enaktik, ikonik, dan simbolik.
Penyajian ekonomi (economy of presentation), ekonomi adalah sejumlah informasi yang harus di simpan pembelajar dalam pikirannya dan harus diproses untuk menyelesaikan masalah. Ekonomi dalam mengkomunikasikan tubuh pengetahuan tergantung pada sejumlah informasi yang harus dimiliki pembelajar dalam pikiran untuk melanjutkan belajar. Sedikit informasi, sedikit fakta yang muncul dalam pikiran pembelajar, ekonomi semakin besar. Cara terbaik untuk menyediakan ekonomi dalam mengajar adalah mmberikan ringkasan singkat kepada pembelajar. Contohnya Bruner mrasa bahwa sangat ekonomis untuk meringkas perang sipil rakyat Amerika sebagai perang perbudakan daripada berjuang antara perluasan daerah industri dan pembangunan kelas-kelas masyarakat untuk mengontrol kekuatan ekonomi federal.
 Bruner percaya bahwa alam adalah sederhana.Oleh karena itu agar menjadi kuat presentasi beberapa aspek alam harus merefleksikan kesederhanaan alam. Guru selalu membuat sukar apa yang dapat dipahami dengan mudah. Kekuatan penyajian adalah penyajian sederhana yang mudah dipahami. Kekuatan penyajian membolehkan pembelajar melihat hubungan-hubungan baru, mencari hubungan antara fakta yang awalnya terlihat terpisah. Menurut Bruner kekuatan penyajian ini penting dalam matematika.
3)            Prinsip III: Urutan (sequence)
Kesulitan siswa menguasai subjek/pelajaran yang diberikan tergantung pada urutan materi disajikan. Mengajar meliputi membimbing pembelajar melalui urutan tertentu beragam aspek dari subjek. Bruner percaya bahwa perkembangan intelektual bergerak dari representasi enaktik, ikonik, dan simbolik. Oleh karena itu dia mempercayai bahwa urutan tersebut juga tepat digunakan dalam mengajarkan pelajaran. Guru harus memulai mengajar subjek baru dengan sedikit pesan kata, berbicara utamanya terhadap respon otot pembelajar. Kemudian siswa dapat didorong untuk mengeksplorasi penggunaan diagram dan beragam representasi piktorial. Akhirnya pesan dapat dikomunikasikan secara simbolik melalui penggunaan kata. Pendekatan ini sangat konservatif. Beberapa anak karena umur dan latar belakangnya terlihat mampu untuk memulai sesuatu yang baru pada tingkat simbolik, tetapi penggunaan urutan di atas akan lebih aman digunakan.
Menurut Bruner dalam teori pembelajaran perlu menetapkan urutan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman pendidikan. Pembelajaran diberikan kepada pembelajar melalui urutan pernyataan dan menyatakan ulang masalah/tubuh pengetahuan yang meningkatkan kemampuan pembelajar untuk memegang, mentransformasi dan mentransfer apa yang dipelajarinya (Bruner dalam Snelbecker, 1974 hal 423). Tidak ada urutan yang baik bagi semua pembelajar atau untuk semua objektif pendidikan. Bruner menyarankan beberapa aturan yang dapat disebutkan dalam perencanaan pembelajaran. Secara umum urutan harus mmperhatikan keterbatasan kapabilitas siswa untuk memproses informasi. Biasanya pendidik menyusun organisasi informasi-informasi baru yang lebih ekonomis sehingga siswa lebih siap memahami dan memprosesnya. Bruner merujuk pada perkembangan umum kemajuan melalui perilaku konkret dan hubungan representasi enaktik, melalui hubungan grafik dan representasi ikonik, ke pernyataan verbal/numeris dalam representasi simbolik sebagai dasar perencanaan urutan pembelajaran.   Bisa jadi dalam pembelajaran siswa SMA disajikan contoh-contoh konkret sebelum menyajikan deskripsi grafik atau sebelum menjelaskan prinsip atau konsep yang abstrak.
Urutan tidak dapat ditentukan secara bebas dari kondisi khusus pembelajar atau dari kemajuan pembelajar. Untuk menyeleksi urutan, harus diperhatikan kesalahan-kesalahan awal, derajat kreativitas yang ingin di dorong, kemungkinan kemampuan mentransfer apa yang telah dipelajari, kecepatan umum atau ekonomi dalam belajar dan faktor-faktor lain yang mngoptimalkan urutan.
4)            Prinsip IV:   Penguatan (reinforcement)
Menurut Bruner, belajar membutuhkan penguatan. Untuk dapat mencapai pemahaman masalah, kita harus menerima feedback tentang apa yang telah dilakukan. Pemberian penguatan penting artinya bagi suksesnya belajar. Bruner berpendapat bahwa penguatan dalam bentuk hasil pengetahuan muncul ketika pembelajar mmbandingkan hasil ujicoba prosedurnya dengan kriteria belajar yang akan dicapai. Bukan jawaban benar/salah yang dicari tetapi apakah siswa membuat kemajuan terhadap tujuan pendidikan. Feedback kemajuan ini dalam bentuk dimana pembelajar dapat berhubungan dengannya dalam usaha menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Bruner memberikan komentar tentang tipe feedback yang tidak berguna bagi pembelajar. Siswa tidak dipengaruhi oleh feedback karena siswa sangat gelisah, sangat tidak termotivasi atau sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan aktivitas tertentu dimana dia tidak dapat mengubah ke aktivitas alternatif. Feedback tentang apa yang tidak dapat dilakukan tidak seefektif informasi apa yang tepat. Terdapat batasan sejumlah informas yang dapat dikendalikan; jika feedback melampaui batasan maka feedback tidak dapat digunakan. Feedback harus dalam cara yang  dapat disajikan dan pada derajat ekonomi yang siap diterjemahkan ke dalam aktivitas problem solving pembelajar.
Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa Bruner lebih menyukai penggunaan penguatan intrinsik daripada ekstrinsik dan dia menganjurkan kepada guru untuk mendesain pembelajaran sehingga siswa dapat dengan cepat menilai kemajuannya sendiri dan mendapat penguatan dari belajar.
4.  Implikasi Kerja Bruner dalam Pembelajaran berdasarkan Studi Perkembangan Kognitif
Anak bukanlah seorang dewasa muda dalam proses berpikirnya.  Anak berpikir dengan cara mengingat dan sering membuat kesalahan yang tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh orang dewasa. Oleh karena itu, guru harus membuat pembelajaran berlangsung dengan pola pikir anak-anak. Jenis empati intelektual seperti ini tidaklah mudah, tetapi dapat dilakukan dengan interview, pengamatan, dan pemberian kuisioner. Dengan demikian, guru akan memahami proses kognitif anak.
 Anak-anak, khususnya TK dan SD tahun pertama belajar dengan baik ketika bekerja dengan objek-objek konkret, material, dan fenomena. Kata-kata dan jenis-jenis simbol lainnya tidak efektif untuk mendorong pemahaman anak tentang suatu konsep pada tahap ini. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, melakukan aktivitas, menyentuh, melihat, merasakan sesuatu membantu mereka memahami konsep dan hubungan secara lebih efektif dibandingkan pembelajaran yang lebih abstrak yang berhasil diterapkan untuk anak remaja. Bruner mendorong aktivitas penemuan sendiri oleh anak dan pendekatan induktif lainnya dalam pembelajaran. Apapun keterbatasan penerapan metode ini pada tingkat perkembangan kognitif yang lebih tinggi, minimal anak mempunyai pengalaman yang berharga pada waktu pra-sekolah dan SD tahun pertama.
 Dalam beberapa cara, jenis pemahaman berikutnya didasarkan atas kata-kata dan simbol membutuhkan jenis pemahaman sebelumnya yang berdasarkan manipulasi objek secara langsung dan internal. Siswa yang tidak mendapatkan ”rasa” dari hukum jungkat-jungkit melalui permainan jungkat-jungkit akan mengalami kesulitan memahami penalaran serupa dalam kelas fisika. Anak yang tidak berpengalaman bermain dengan manik-manik, stik, bungkahan clay mengalami kesulitan memahami penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Kesempatan awal memanipulasi beragam jenis manipulasi objek menjelaskan perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kemampuan belajar prinsip-prinsip mekanis dan fisik ketika remaja.
Teori perkembangan kognitif Bruner, membuat guru harus menciptakan pembelajaran yang memperhatikan tahap-tahap berpikir anak. Pembelajaran dimulai dengan tahap sentuhan sehingga dibentuk representasi enaktik. Oleh karena itu dalam pembelajaran guru membawa objek-objek nyata ke dalam kelas, misalnya batuan dibawa dalam kelas sains, sparepart kendaraan di tunjukkan ketika kelas mekanik, bibit dan tanah di bawa untuk kelas biologi anak SD. Selanjutnya pembelajaran ditekankan pada mengembangkan persepsi. Guru dapat menunjukkan ciri-ciri yang nyata dari suatu objek atau kejadian, menggunakan audivisual dengan efektif. Pada tahap ini pembelajaran ditekankan pada membangun representasi ikonik siswa. Menggunakan foto-foto hasil pengamatan pertumbuhan tanaman, untuk menunjukkan pertumbuhan bunga dapat digunakan untuk memperkuat representasi ikonik. Referensi yang konkret dan ikonik diperlukan untuk membantu siswa bekerja dengan informasi yang lebih abstrak, yaitu pada pembelajaran selanjutnya (tahap verbal). Terkadang guru kesulitan untuk menjelaskan sesuatu dapat menggunakan pengalaman enaktik dan ikonik terlebih dulu.
Pengalaman baru berinteraksi dengan struktur kognitif menimbulkan minat dan mengembangkan pemahaman. Pengalaman baru ini harus cocok dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa, namun tidak sepenuhnya cocok untuk menghindari segala keganjilan dan konflik. Anak diperbolehkan bekerja dengan caranya sendiri. Anak dapat mengatur belajarnya sendiri daripada harus dipaksa sehingga anak menjadi tidak siap belajar. Akibatnya, guru harus memberikan perhatian kepada masing-masing individu siswa dan bukannya kepada keseluruhan siswa. Beberapa anak membutuhkan bantuan dari guru yang lebih besar dan waktu yang lebih, serta jenis bantuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, anak diberikan kesempatan yang lebih untuk bekerja proyek/tugasnya sendiri. Anak diperbolehkan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Oleh karena itu, guru harus menyusun kesempatan dan material yang dibutuhkan siswa untuk mendapatkan pemahaman (Forman & Kuschner dalam Gage, 1984 hal 150)
Interaksi dengan orang lain akan memberikan nilai yang efektif terhadap kognitif dan afektif. Cara berpikir yang berpusat kepada siswa akan membuat siswa melihat segala sesuatu seolah-olah dia adalah pusat dari pembelajaran. Berpusat pada siswa ini akan memberikan cara untuk mendapatkan konsepsi yang lebih valid seperti siswa harus dipaksa dalam interaksi sosial  untuk berhadapan dengan pandangan orang lain. Siswa memperoleh informasi tentang bagaimana orang lain melihat sesuatu. Siswa bebas berekspresi dengan caranya sendiri untuk mempertahankan pandangannya ketika ditanya, dikritik oleh teman-temannya. Karena interaksi sosial dimulai sejak awal maka akan meningkatkan pemahaman anak dari tingkat motorik, atau manipulatif, dan intuitif ke tingkat verbal. 
 DAFTAR PUSTAKA
Bruner. 1967. Studies in Cognitive Growth: A Collaboration at the enter for Cognitive Studies. New York: John Wiley & Sons, Inc

Gage., Berliner. 1984. Educational Psychology Third Edition. Boston : Houghton Mifflin Company

Gallenstein, Nancy L. 2005. Engaging young children in science and mathematics. Journal of Elementary Science Education. http://www.accessmylibrary.com diakses tanggal 17 Februari 2009


Hudiono, B. 2006. Metakognisi dan Multirepresentasi dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding konferensi Nasional Matematika XIII. Semarang: Badan Penerbit UNDIP

Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press

Hwang, W.-Y., Chen, N.-S., Dung, J.-J., & Yang, Y.-L. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. In Educational Technology & Society
Lefrancois, Guy. 1991. Psychologi for Teaching: a Bear will not Commit Himself Just Now. California: Wadsworth, Inc

Luitel, B. C. 2002. Multiple representations of addition and subtraction related problems by third, fourth and fifth gradershttp://www.ses.curtin.edu.au/~luitelb/ diakses 17 Februari 2009

Snelbecker, Glenn E. 1974. Learning Theory, Instructional Theory, and Psychoeducational Design. New York : McGraw Hill Book Company

Tidak ada komentar:

Posting Komentar