I. Representasi Ganda (Multiple Representation)
Beberapa siswa lebih menyukai representasi konkret atau visual, sedangkan siswa yang lain lebih menyukai representasi simbolik atau abstrak. Biasanya, siswa yang memiliki kemampuan problem solving yang baik cekatan memanipulasi representasi dan translasi bahasa mereka, representasi gambar (gambar, grafik), dan representasi formal (kalimat, frase, aturan, dan formula). Sedangkan siswa dengan kemampuan problem solving yang kurang akan cenderung mengalami kesulitan dengan representasi dan translasi problem solving. Oleh karena itu, siswa berbeda akan mempunyai gaya belajar yang berbeda pula untuk mendapatkan pengetahuan. Guru mengadopsi strategi pembelajaran yang berbeda-beda untuk mendorong siswa menunjukkan representasi ganda dalam kelas, sehingga mempertinggi kinerja belajar siswa (Cai & Hwang dalam Hwang, 2007).
Representasi ganda (multiple representation) meliputi representasi eksternal yaitu sesuatu yang berarti, menggambarkan, melambangkan atau merepresentasikan objek dan atau proses. Contohnya kata-kata atau deskripsi verbal, gambar, logika matematis, diagram gerak, diagram garis, diagram batang energi, diagram batang momentum, persamaan, grafik, dan sketsa. Peran representasi ganda dalam pembelajaran siswa adalah mencari representasi yang memudahkan pada kebanyakan masalah di kelas yang dilihat sebagai suatu perolehan intelektual yang utama, yang tidak bisa diremehkan dalam problem solving dan desain pembelajaran.
Langkah-langkah menggunakan representasi ganda adalah:
1. Langkah dalam menggunakan representasi
a. Mengidentifikasi komponen kunci
Setiap representasi dapat membantu siswa memahami dan menggunakan kunci konsep fisik. Mengidentifikasi tentang apa konsep itu dan bagaimana siswa mendapat manfaat dari representasi.
b. Mengkonstruksi representasi yang lain
Bersamaaan dengan kunci konsep dalam pikiran, siswa dapat menciptakan tipe representasi yang lain yang berfokus pada konsep yang sama.
2. Menggunakan representasi dalam kelas
a. Penilaian formatif
Guru memberikan suatu representasi dan siswa diminta mencari representasi yang lain, guru memberikan dua atau lebih representasi dan siswa diminta mencari konsistensi diantara representasi tersebut, memberikan satu representasi dan meminta siswa memilih representasi kedua yang konsisten dengan representasi tersebut dari beragam pilihan.
b. Penilaian summatif
Representasi ini dapat digunakan sebagai alternatif tes menggunakan metode yang digambarkan di atas.
Seperti telah dijelaskan di atas, representasi ganda berarti penggunaan beragam representasi yang berbeda (grafik, tabel, persamaan, dan diagram) pada waktu yang sama. Penggunaan representasi ganda dalam pembelajaran memerlukan sedikitnya 2 proses yaitu merepresentasikan hubungan atau konsep dengan cara lebih dari satu dan menterjemahkan dalam dan diantara representasi yang berbeda untuk mengembangkan pemahaman. Contoh penggunaan representasi ganda adalah untuk mengajarkan konsep fungsi linear:
a. Representasi fungsi yang berbeda (grafik, tabel, dan persamaan) digunakan untuk mengillustrasikan beberapa komponen fungsi seperti bagaimana input berhubungan dengan output di persamaan, grafik, atau tabel fungsi; bagaimana memperoleh domain atau range fungsi tadi tabel, grafik, atau persamaan fungsi.
b. Membuat hubungan antara representasi yang berbeda. Contohnya; mencari persamaan dari suatu fungsi yang diberikan menggunakan grafik atau tabelnya, menentukan nilai maksimum dari fungsi aljabar yang diberikan dengan menggunakan tabel atau grafik fungsi, menggunakan grafik dari fungsi yang diberikan untuk melengkapi tabel fungsi yang berkorespondensi, dsb.
Gambar berikut mengillustrasikan ide representasi ganda terhadap konsep yang sama (fungsi linear)
Manfaat dari representasi ganda antara lain:
1. Intelegensi ganda
Siswa belajar dengan beragam cara yang berbeda. Representasi yang berbeda cocok dengan gaya pembelajaran yang berbeda.
2. Visualisasi bagi otak
Kuantitas fisik dan konsep dapat divisualisasikan dan dipahami lebih baik dengan menggunakan representasi konkret.
3. Membantu mengkonstruksi tipe representasi yang lain
Beberapa representasi konkret membantu mengkonstruksi representasi yang lebih abstrak (lebih matematis).
4. Beberapa representasi berguna untuk bernalar kualitatif
Bernalar kualitatif biasanya dibantu menggunakan representasi konkret.
5. Representasi matematika abstrak digunakan untuk bernalar kualitatif
Representasi matematis dapat digunakan untuk mencari jawaban kuantitatif terhadap masalah. Representasi ganda menyediakan lingkungan kepada siswa memahami beberapa konsep matematis yang abstrak dan utama dengan menggunakan beberapa representasi ide-ide matematis yang berbeda. Tujuannya adalah menggali preferensi siswa terhadap representasi matematis eksternal selama proses problem solving dan apakah preferensi tersebut berubah ketika siswa menggunakan representasi khusus untuk menyelesaikan masalah matematis. Melalui perpaduan beragam penelitian terhadap preferensi representasi siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi siswa meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal pada dasarnya berhubungan dengan proses kognitif siswa termasuk preferensi, pengalaman, pengetahuan subjek matematis, dan kepercayaan tentang matematika. Faktor eksternal merupakan karakteristik lingkungan luar, yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap cara bekerja matematika. Kesulitan-kesulitan masalah dan cara-cara masalah disajikan dapat mempengaruhi preferensi atau penggunaan representasi tertentu. Aspek pedagogis seperti penggunaan representasi ganda yang simultan atau penggunaan representasi simbolik yang berbobot dalam pembelajaran dan penggunaan teknologi atau perlengkapan grafik adalah contoh faktor eksternal.
Penelitian yang dilakukan oleh Koca (dalam Hwang, 2007) terhadap siswa Midwestern, sebanyak 96% siswa menyetujui bahwa masalah matematis dapat diselesaikan menggunakan beragam representasi yang berbeda. Meskipun sebanyak 66% siswa menyukai menggunakan lebih dari satu representasi untuk menyelesaikan masalah matematika, namun ternyata sebanyak 72% menyetujui bahwa lebih mudah fokus terhadap satu representasi saja. Menurut siswa penggunaan representasi yang berbeda tidak menjamin adanya jawaban yang berbeda. Kecenderungan siswa memegang peran yang penting dalam memilih representasi tertentu. Merasa tidak nyaman dengan suatu representasi menjadi alasan bagi siswa untuk menyukai representasi yang berbeda. Pengalaman atau pengetahuan awal representasi dan mengetahui bagaimana melaksanakannya adalah alasan siswa yang lain untuk memilih satu representasi daripada representasi yang lain. Dari penelitian yang dilakukannya terhadap 3 pilihan representasi yaitu tabel, grafik, dan persamaan, diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan tabel disukai untuk masalah kontekstual dengan penyelesaian tunggal. Grafik akan digunakan bila masalah membutuhkan interpretasi yang lebih. Sedangkan persamaan digunakan untuk masalah yang tidak kontekstual. Siswa mengembangkan preferensinya terhadap representasi dipengaruhi faktor internal. Pilihannya sendiri, pengalaman awal, dan pengetahuan yang dibawa siswa ke dalam kelas menjadi perhatian. Guru harus lebih bermanfaat dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif. Selanjutnya, karena faktor eksternal terkadang membantu dan menghalangi siswa mengembangkan preferensinya, pendidik harus berhati-hati dalam mendesain pembelajaran. Penggunaan representasi tertentu secara dominan dapat membatasi pilihan siswa terhadap penggunaan representasi yang berbeda. Penyediaan lingkungan representasi ganda bermanfaat bagi siswa untuk menyadari tentang jenis informasi representasi apa yang disajikan yang berbeda dengan representasi yang lain.
Penelitian lain berkaitan dengan pemanfaatan representasi ganda dalam pembelajaran matematika dilakukan oleh Hwang (2007). Penerapan keterampilan representasi ganda untuk memecahkan masalah matematis menggunakan sistem desain multimedia whiteboard membantu menstimulus siswa bekerja dengan masalah problem solving. Pada awalnya, pembelajaran bersifat pasif. Kebanyakan siswa hanya mengikuti langkah-langkah guru dalam menyelesaikan masalah. Siswa jarang mencoba mengikuti ide dan pendekatannya sendiri dalam menyelesaikan masalah matematika, sehingga guru mengalami kesulitan menstimulus siswa menggunakan representasi ganda dalam matematika problem solving dan penjelasannya. Namun setelah pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan sistem tersebut siswa menyukai menggunakan multimedia whiteboard dan merasa sistem tersebut menarik dan berguna bagi mereka untuk memecahkan masalah matematika. Oleh karena itu, siswa menggunakannya dalam problem solving di kelas komputer. Ketika sesi diskusi, dimana siswa menyampaikan penyelesaian masalah yang dikerjakannya, siswa yang lain memberikan alternatif penyelesaian yang dikerjakannya baik yang menggunakan teks, grafik, simbol, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk merefleksikan apakah mereka telah memahami masalah yang diberikan guru. Guru dapat mengidentifikasi siswa yang kurang paham dalam problem solving dan sesegera mungkin memberikan bantuan dan saran kepada siswa tersebut .
Beberapa peneliti telah mengidentifikasi manfaat potensial representasi ganda dalam pembelajaran matematika. Kirler & Hirsch (dalam Gyamfi, 1993) menyatakan bahwa representasi ganda bermanfaat karena representasi ganda memberikan beragam cara kepada siswa untuk melihat dan memahami konsep dan memfasilitasi “hubungan kognitif representasi-representasi”. De Jing (dalam Gyamfi,1993) berpendapat representasi ganda sangat perlu digunakan dalam pembelajaran matematika karena informasi yang dipelajari siswa beragam karakteristiknya dan penggunaan representasi bermanfaat dalam proses pembelajaran. Penggunaan representasi ganda dalam pembelajaran menunjukkan pemahaman atau keahlian terhadap konsep yang dipelajari. Dufour-Janvier, Berdnarz & Belanger (dalam Gyamfi, 1993) menyatakan bahwa penggunaan representasi ganda dalam pembelajaran membantu siswa mengkonstruksi pengetahuannya tentang konsep berdasarkan beragam representasi konsep yang diberikan. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa penggunaan repressentasi ganda dalam pembelajaran membantu siswa menolak representasi yang disukai siswa lain (disertai alasannya), berpindah dari satu representasi ke representasi lain, mengetahui batasan dan keefektifan masing-masing representasi dan memilih pendekatan representasi untuk memecahkan masalah yang diberikan.
Identifikasi manfaat potensial penggunaan representasi ganda ini telah memberikan dukungan terhadap representasi ganda (Hiebert & Carpenter, 1992; Porzio,1999 dalam Gyamfi, 1993) yaitu untuk memandang bahwa penggunaan representasi ganda dalam pembelajaran memungkinkan pembelajar mengambil manfaat dari sifat-sifat masing-masing representasi dan mendorong siswa untuk memperdalam pemahaman matematika.
J. REPRESENTASI EKSTERNAL DAN REPRESENTASI INTERNAL
Menurut Goldin & Shteingold (dalam Luithel, 2002) ada tiga tipe representasi yaitu internal, eksternal dan bagian (shared). Representasi eksternal contohnya sinyal atau konfigurasi sinyal, karakter atau objek 3. Kebanyakan representasi eksternal dihasilkan siswa cukup dengan mengkonstruksinya karena mereka mendefinisikan dan memutuskan secara objektif. Representasi internal dan eksternal yang dikonstruksi melalui cara bagian disebut representasi bagian. Jenis representasi ini dapat ditemukan dalam ceramah atau situasi komunal di kelas dan interaksi sosial (Gergen dalam Luithel, 2002). Dalam hal ini, simbol penjumlahan (+) dapat dikonstruksi melalui interaksi antara pembelajar dengan guru. Representasi internal berhubungan dengan perubahan sikap siswa terhadap matematika atau konsep matematis. Selanjutnya, ketiga representasi tersebut juga disebut representasi psikologis dimana sistem representasional yang berbeda dapat ditemukan sebagai verbal/sintaktik, imagistik, notasional formal, dan afektif.
Fokus konstruktivisme adalah representasi internal dan bagian karena pembelajar mengkonstruksinya. Representasi internal juga terdiri representasi afektif yang dapat membantu mengembangkan pemahaman pembelajaran. Sedangkan behaviorisme tidak memperhatikan konsep representasi internal dan bagian tetapi fokus pada representasi eksternal untuk mengukur kinerja siswa.
1. Representasi Eksternal
Menurut Goldin & Kaput, representasi eksternal merujuk pada wujud secara fisik, konfigurasi yang dapat diamati seperti grafik, tabel, dan persamaan (dalam Gyamfi, 1993). Contoh dari representasi eksternal meliputi representasi verbal (tertulis), representasi grafis (Grafik Cartesius), representasi simbolik atau aljabar (persamaan yang mengekspresikan hubungan antara dua atau lebih kuantitas), representasi piktorial (diagram atau gambar) dan representasi tabular (tabel nilai). Representasi eksternal merujuk pada beragam jenis representasi linguistik dan grafis. Taksonomi representasi visual diberikan oleh Lohse, Biolsi, Walker & Rueter. Mereka mengidentifikasi 11 kategori dasar yaitu grafik (graph), tabel (table), tabel grafis (graphical table), chart (chart), jaringan (network), diagram struktur (structure diagrams), diagram proses (process diagrams) , peta (map), kartogram (cartogram), patung (icon), dan gambar (picture) (Cox).
Representasi ekternal adalah visualisasi yang siap-buat, skemata, model dan tabel, pendek kata representasi konkret yang dibuat guru (pengembang) menggunakan sifat-sifat representasi matematis untuk tujuan mengajar siswa bekerja dengan representasi. Contohnya garis bilangan, sempoa (dengan sistem nilai tempatnya) dan dalil tabel. Model yang dikonstruksi oleh ahli matematika dianggap sebagai representasi eksternal (contohnya model aljabar atau grafik). Representasi eksternal memungkinkan kita untuk berbicara tentang relasi matematika dan pengertian dan meliputi semua tugas-tugas matematis, contohnya perkalian dalam tugas tertulis, problem solving geometris, pemahaman grafik, penalaran diagramatik (Zhang dalam Gyamfi, 1993). Representasi eksternal dikonstruksi oleh orang dewasa dengan asumsi bahwa anak-anak akan memahami ide-ide matematis yang dikonstruksi oleh orang dewasa. Representasi eksternal diciptakan dari pengalaman-pengalaman yang bermakna dan dapat diperoleh dengan mudah melalui observasi serta dapat dengan mudah ditunjukkan atau dikomunikasikan ke orang lain. Gambar berikut menunjukkan beberapa contoh representasi eksternal (tabel, grafik, dan persamaan).
Menurut Hiebert dan Carpenter (dalam Barmby, 2007) pemahaman terhadap matematika dalam pembelajaran dan penilaian tidak hanya berdasarkan representasi internal saja tetapi juga kita juga menggunakan representasi eksternal konsep. Sebagai contoh, representasi eksternal seperti bahasa lisan, simbol tertulis, gambar, atau objek-objek fisik digunakan untuk mengkomunikasikan matematika.
2. Representasi Internal
Representasi internal yang dikonstruksi sebagai dasar pengalaman-pengalaman bermakna juga disebut sebagai representasi mental. Representasi internal adalah gambaran mental yang berkorespondensi dengan formulasi internal apa yang kita lihat di sekeliling kita (realitas). Representasi internal meliputi pengetahuan dan struktur dalam memori. Pengetahuan dan struktur ini merujuk pada kemungkinan konfigurasi mental individual (pembelajar atau pemecah masalah) yang dikonstruksi individu melalui observasi perilaku termasuk perilaku verbal dan matematis (Goldin & Kaput, dalam Gyamfi, 1993). Sedangkan menurut Davis (dalam Barmby, 2007) representasi internal adalah sembarang konsep matematis, atau teknik atau strategi atau sesuatu yang bersifat matematis lainnya yang melibatkan informasi dan beberapa alat/cara memproses informasi-jika semua itu disajikan dalam pikiran maka harus direpresentasikan dengan beragam cara.
Menurut Hiebert dan Carpenter (dalam Barmby, 2007) matematika dapat dipahami jika representasi mental/internal matematika adalah bagian dari jaringan representasi. Derajat pemahaman ditentukan oleh banyak dan kekuatan dari koneksinya. Ide-ide matematis, prosedur, atau fakta dipahami sepenuhnya jika dikaitkan dengan jaringan yang sudah ada secara kuat atau dengan sejumlah hubungan. Goldin (dalam Barmby, 2007) menyebutkan beberapa macam representasi internal yaitu verbal/sintaktik, imajistik, simbolik, perencanaan/monitoring/pengawasan dan representasi afektif. Representasi internal konsep-konsep matematis dapat meliputi fakta tentang konsep, gambar atau prosedur yang kita gambarkan untuk menggali konsep dan bagaimana kita merasakan bahwa kita telah bekerja dengan konsep tersebut. Representasi internal tidak dapat dengan mudah ditunjukkan atau dikomunikasikan kepada orang lain, tetapi representasi internal hanya dapat diduga berdasarkan produksi representasi eksternal. Contohnya, hanya ada satu cara untuk mengetahui apakah seorang anak telah mengkonstruksi representasi internal bilangan 2 adalah dengan mengetahui apakah anak tersebut mampu menghasilkan representasi eksternal dari bilangan tersebut.
3. Pembentukan Representasi Internal
Representasi internal pada dasarnya dikonstruksi sendiri oleh siswa untuk meningkatkan kesempatan dimana aksi akan bermakna dan memberikan wawasan kepada siswa. Menurut Halliday (dalam Nelissen, 1998), anak-anak memahami dunianya dalam dasar pengertian yang dikonstruksinya. Dalam perkembangan kognitif Halliday, berpikir dan bahasa diatur oleh konstruksi pengertian. Halliday mengistilahkan dengan ”social semiotic”. Halliday menganalisis perkembangan pengertian dan memahaminya melawan latar belakang lingkungan sosial dimana anak-anak tumbuh dan berkembang dan dimana pengertian menjelma. Menurut Walkerdina (dalam Nelissen, 1998), konteks ”di dalam pikiran” menjadi dasar pengertian. Anak-anak membentuk ”model”, skemata, atau skrip situasi pengalaman yang telah menjadi bermakna bagi mereka. Tindakan terjadi di dalam konteks, situasi, atau disituasikan dan oleh karena itu pola ” kognisi yang disituasikan” diterapkan. Hal ini berarti bahwa orang tidak hanya berpikir dengan konteks yang berbeda-beda tetapi juga mereka bertindak dengan beragam ”praktek” yang berbeda. Perbedaan ”hubungan pengertian” muncul setiap saat (Walkerdine dalam Nelissen, 1998). Walkerdine menganjurkan apa yang disebut sebagai analisis psikosemiotik isyarat (psycho-semiotic analysis of signs) yaitu suatu metode analisis untuk menginvestigasi proses sosial dimana isyarat muncul.
Walkerdine memikirkan bahwa jaringan hubungan antara sesuatu yang berarti yang diciptakan oleh Lacan yaitu ”semiotic chain”. Ide dan konsep ”isyarat” menjadi penting. Isyarat terdiri dari 2 unsur pokok yaitu signifier dan signified. Misalkan kita melihat ada 5 orang maka nama-nama mereka sebagai signifier sedangkan orangnya sebagai signified. Kemudian 5 nama orang tersebut dapat direpresentasikan dengan 5 jari. Signifier menjadi signified dan anak menemukan signifier baru yaitu lima jari. Pada tingkat yang lebih tinggi, lima jari menjadi signified dan signifier baru terdiri dari simbol bilangan yang dilisankan (satu sampai lima). Yang terjadi kemudian adalah isyarat-isyarat baru muncul lagi dan lagi, yaitu kombinasi antara signifier dan signified, sementara setiap waktu signifier dikonstruksi pada tingkat yang lebih tinggi. Namun signifier baru tidak menunjuk pada dunia eksternal, tetapi terhadap signifier yang dikonstruksi sebelumnya. Anak-anak tidak merepresentasikan realitas objektif tetapi mental, proses internal: anak-anak merepresentasikan representasi internalnya. Akibatnya representasi internal ini mempengaruhi persepsi realitas.
Proses pembentukan representasi internal biasanya dihubungkan dengan konteks sosial dan pengalaman yang mempunyai arti dalam konteks khusus tersebut. Dengan kata lain proses representasi ”disituasikan” akibatnya segala sesuatu mempunyai pengertian (kata, peralatan, isyarat). Lemke menyebutnya dengan sistem ekososial. Menurutnya setiap tindakan manusia berarti ada operasi dengan isyarat (dikarakteristikkan sebagai semiosis oleh Whitson.
Pandangan ”kognisi yang disituasikan” tentang konsep representasi berbeda dengan teori klasikal representasi (lihat Palmer, 1978; Dretske, 1986; Finke, 1989; Perner, 1991). Teori klasikal representasi memisahkan antara referent, objektif dunia eksternal yang direpresentasikan dengan sense, yaitu representasi internal dalam pikiran seseorang. Dualistik ini dalam pandangan Whitson dikenal sebagai strukturalistik. Dualisme ini menggantikan teori kognisi yang disituasikan, dimana signifier selalu merupakan hasil dari signifier sebelumnya yang berhubungan erat dengan pengalaman internal yang bermakna dan akibatnya tidak bergantung dengan dunia eksternal yang ada secara langsung. Sinha menyatakan bahwa signified dihasilkan bukannya ditunjukkan. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa signifier mengorganisasi pengalaman yang aktual.
Teori kognisi yang disituasikan mengusulkan pandangan representasi yang nondualistik. Karakteristiknya adalah proses penunjukkan yang berulang dan terus maju secara tetap, isyarat ditransformasikan menjadi signified bagi signifier baru pada tingkat yang lebih tinggi. Menurut teori sosio-konstruktivistik dan realistik dalam pendidikan matematika, matematisasi menjadi bagian yang penting dalam proses penunjukkan. Menurut Freudenthal, matematika diawali dengan common sense siswa. Common sense berguna agar sesuatu menjadi benar-benar matematika dan mengalami kemajuan dalam arti disistematisasi dan diorganisasi. Pengalaman common sense bergabung dengan aturan (contohnya sifat komutatif penjumlahan) dan aturan ini kemudian menjadi common sense. Dengan kata lain matematika dimulai dan diakhiri dengan pengertian anak-anak.
Cobb (dalam Nelissen, 1998) menunjukkan bagaimana proses matematisasi disusun sebagai proses penunjukkan. Dasar teoritisnya adalah percobaan Walkerdine tentang teori penunjukkan, Cobb tentang sosio-konstruktivisme, dan Gravemeijer tentang pendidikan matematika realisitik. Mereka memberikan perhatian pada aktivitas siswa, kreativitas, problem solving, realitas kontek dan khususnya realitas matematis, pengertian dunia objek-objek matematis. Nelissen menggambarkan bagaimana anak mengkonstruksi signifier baru berawal dari konteks ”toko permen”, menggunakan aritmatika (dengan 5 struktur) dan balok-balok. Permen direpresentasikan dengan balok-balok, kemudian balok merepresentasi permen dengan gambar, dsb.
4. Konstruksi dan Internalisasi Konsep-Konsep Matematis Menurut Vygotsky
Kemajuan matematika berkaitan dengan perkembangan beberapa sistem semiotik yaitu bahasa dan gambar (image). Contohnya notasi simbolik berasal dari bahasa tulis, konstruksi gambar bidang dan grafik (yang menterjemahkan kurva ke dalam persamaan). Setiap sistem semiotik baru menyediakan cara representasi dan proses berpikir matematis yang khas. Duval menyebutnya dengan register representasi (register of representation) (Duval, 1999). Register ini dibedakan menjadi 2 yaitu register dengan struktur tiga serangkai yang berarti (representasi 2D atau 3D) dan representasi dengan struktur diadik yang berarti (notasi simbol, bahasa formal, diagram). Proses berpikir matematis menggunakan representasi semiotik dan dapat juga mengaktifkan 2 atau 3 register representasi.
Proses matematis disusun dari 2 jenis transformasi representasi yaitu processing dan conversion. Processing adalah transformasi yang dibuat dalam register representasi yang sama, seperti aritmatis atau aljabar komputasi. Kemungkinan semiotik menggeneralisasikan representasi baru dari representasi yang diberikan akan dieksploitasi. Dengan struktur diadik, kemungkinan ini tergantung pada sistem semiotik dan aturan matematis. Conversion adalah transformasi yang mengubah register: representasi objek diterjemahkan ke dalam representasi yang berbeda dari objek yang sama di register yang lain. Contohnya, transformasi persamaan ke grafik Cartesius.
Aktivitas matematis dibedakan menjadi 2 sisi. Sisi yang nampak atau menentukan adalah objek matematis dan proses yang valid digunakan untuk menyelesaikan masalah. Sisi yang tersembunyi dan penting adalah operasi kognitif dimana setiap orang dapat menyajikan proses yang valid dan memperoleh akses objek matematis. Register representasi semiotik dan koordinasi mengeset bangunan kognitif dimana setiap orang dapat menyajikan operasi kognitif yang mendasari proses matematis. Artinya, sembarang operasi kognitif seperti proses dalam regiter atau konversi representasi antara 2 register tergantung pada variabel-variabelnya. Mencari variabel tersebut dan bagaimana variabel berinteraksi merupakan hal yang penting dalam penelitian pembelajaran matematika. Melihat dua sisi secara matematis ternyata sangat penting. Masalah atau tugas yang harus diselesaikan siswa membutuhkan analisis ganda yaitu analisis secara matematis dan kognitif. Variabel kognitif harus ada dalam konstruksi konsep sebagaimana struktur matematisnya. Namun guru harus mengetahui variabel ini dengan sendirinya. Guru harus dapat menganalisis fungsi setiap visualisasi yang dapat disajikan dalam konteks aktivitas yang ditentukan (Duval, 1999).
Gagasan tentang skema dikembangkan oleh Skemp (1971). Skemp menulis tentang konstruksi konsep secara umum dan konstruksi konsep matematis. Menurutnya dalam mengkonstruksi pengetahuan akan melibatkan proses abstraksi dan klasifikasi. Abstraksi adalah aktivitas dimana kita menjadi sadar dengan dengan kesamaan-kesamaan di antara pengalaman-pengalaman. Sedangkan klasifikasi berarti mengumpulkan pengalaman-pengalaman yang diperoleh berdasarkan kesamaannya. Oleh karena itu konsep (ide abstrak) dibutuhkan untuk menempatkan pengalaman-pengalaman tersebut yang memiliki sesuatu yang bersifat umum.
Penggunaan representasi semiotik dalam berpikir matematis merupakan hal yang penting karena tidak ada cara lain untuk memperoleh akses objek-objek matematis selain dengan menghasilkan beberapa representasi semiotik. Untuk pengetahuan selain matematika, representasi semiotik adalah gambaran atau bayangan tentang beberapa fenomena ekternal dunia nyata yang mana kita dapat memperoleh akses pengertian dan instrumental tanpa representasi. Sedangkan pemahaman matematika membutuhkan objek-objek matematis yang tidak membingungkan dengan menggunakan representasi. Hal ini berawal dengal bilangan yang tidak diidentifikasi dengan digitnya, sistem bilangan (Romawi, biner, desimal). Gambar dalam bidang kajian geometri yang dikonstruksi dengan tepat hanyalah suatu representasi dengan beberapa nilai yang tidak relevan dan hal-hal ini tidak dapat digunakan sebagai bukti.
Objek-objek matematis tidak dapat diakses secara langsung berdasarkan pandangan tersebut tetapi melalui representasi semiotik. Karenanya menganalisis peran representasi dalam konstruksi pengetahuan matematis bersifat penting. Berdasarkan pandangan ini dan ide dari Skemp kita dapat mengklasifikasikan dan mengabstraksi konsep melalui manipulasi representasi semiotik objek-objek matematis. Hiebert & Carpenter (dalam Hitt, 2000) menjelaskan proses tersebut dalam bentuk representasi internal yang digeneralisasikan dengan manipulasi representasi eksternal. Ide-ide matematis atau prosedur atau fakta dipahami jika merupakan bagian dari jaringan internal. Secara khusus matematika dipahami jika representasi mentalnya merupakan bagian dari jaringan representasi. Tingkat pemahaman ditentukan berdasarkan banyak dan kekuatan hubungan. Ide-ide matematis, prosedur atau fakta dipahami sepenuhnya jika berkaitan dengan jaringan yang sudah ada dengan hubungan yang lebih banyak atau lebih kuat.
Ide utama gambaran isyarat/semiotik dari Vygotsky adalah operasi isyarat (sign) tidak ditemukan dengan mudah oleh anak atau dikirimkan dari orang dewasa, tetapi muncul dari sesuatu yang awalnya adalah bukan operasi isyarat dan akan menjadi operasi isyarat setelah sejumlah transformasi kualitatif (Vygotsky dalam Tchoshanov, 2001). Vygotsky mengklaim bahwa operasi isyarat adalah hasil dari proses perkembangan yang rumit yaitu hubungan antara sejarah fungsi psikologis dan perkembangan bentuk perilaku alamiah siswa. Pada awal perkembangan fungsi pikologis pasti membawa karakter aktivitas eksternal. Pada awalnya isyarat menggambarkan aturan, yaitu stimulus tambahan eksternal (external auxiliary stimulus), suatu alat eksternal otostimulasi. Selanjutnya, agar menjadi isyarat sesuatu (kata), stimulus harus mendukung kualitas objek. Tahap primitivisme (sejarah alamiah isyarat) anak adalah hubungan antara objek dengan isyarat seperti gambar berikut ini.Selanjutnya, melalui sejumlah transformasi kualitatif anak mengembangkan hubungan antara objek, pengertiannya, dan isyarat yang merepresentasikan objek. Kaitan tersebut digambarkan sebagai berikut.
Tahap selanjutnya dalam ”sejarah isyarat alamiah” adalah memberi nama; hubungan antara objek, pengertiannya dan nama. Hubungan tersebut digambarkan sebagai berikut.
Memberi nama adalah kegiatan psikologis yang sangat sulit bagi anak. Illustrasi tahap primitivisme anak Vygotsky sebagai berikut: Bagi anak, kata dihubungkan dengan sesuatu melalui kualitasnya dan termasuk dengan sesuatu dalam struktur umum. Hal ini menjelaskan mengapa anak tidak setuju memberi nama lantai pada cermin (karena anak tidak dapat berjalan pada cermin), namun anak mentransformasi kursi dengan kereta api menggunakan kualitasnya yaitu anak memanipulasi kursi dan kereta api. Anak menolak memberi nama lampu sebagai meja karena tidak dapat menulis di lampu dan meja tidak dapat menyala. Bagi anak menggantikan nama berarti menggantikan kualitasnya.
Rantai semiotik/isyarat keseluruhan terdiri dari hubungan antara objek, pengertiannya, nama yang diberikan, dan isyaratnya. Jenis aktivitas informal seperti bermain adalah bagian penting dalam perkembangan semiotik. Selama bermain dan berinteraksi sosial anak mentransformasi pola perilaku semiotik eksternal menjadi struktur internal. Isyarat menjadi mediasi antara aktivitas sosial eksternal dan kognisi internal individu anak
Zone of proximal development (ZPD) adalah jarak antara apa yang siswa ketahui dan potensi siswa untuk mengetahui dengan bantuan siswa lain yang berpengetahuan banyak. Menurut D. Newman, P. Griffin, M. Cole (dalam Tchoshanov, 2001) ZPD adalah tempat negosiasi sosial tentang pengertian, konteks di sekolah dimana guru dan siswa memahami satu dengan lainnya. ZPD ini adalah daerah antara tingkat perkembangan kognitif yang tertinggi dan terendah. Kognitif yang terendah ini berupa pengetahuan siswa yang sebenarnya, keterampilan, dan pengalaman terletak pada level of actual development (LAD). ZPD yang bertujuan pada perubahan kognitif pada dasarnya berhubungan dengan perkembangan pemahaman siswa terbimbing. Zone of anvanced development (ZAD) adalah daerah yang berada di atas ZPD yang melewati perkembangan pemahaman siswa dan merupakan daerah pembentukan belajar mendalam siswa. Dalam ZPD fungsi perbandingan, reproduksi, asimilasi,dan meniru berperan penting sedangkan dalam ZAD fungsi konstruksi, generalisasi, dan kreasi menjadi hal yang penting. Aktivitas tidak dapat dipahami sebagi internalisasi standar dan aturan yang sederhana. Menurut Rubinshtein (dalam Tchoshanov, 2001) aktivitas manusia mensyaratkan proses internalisasi dan eksternalisasi ketika manusia menciptakan standar dan aturan yang baru. Hasil pikologis ZPD adalah internalisasi sedangkan ZAD adalah eksternalisasi. ZPD adalah daerah perubahan kognitif yang terbimbing (pemahaman) sedangkan ZAD adalah daerah aktivitas individual siswa.
Gambaran semiotik Post-Vygotsky ini berhubungan dengan model representasi Bruner (1966) dan Lesh, Post, dan Behr (1987) yang merefleksikan jenjang keabstrakan representasi yang berbeda: enaktik/konkret, ikonik/piktorial, simbolik/abstrak. Berdasarkan perspektif Vygotsky ada 3 komponen penting model representasi: keabstrakan (aspek cara representasi yang berbeda), generalisasi (aspek jenjang kebutuhan kognitif yang berbeda), dan konvensionalisme (aspek hubungan antara standar idiosinkratik dan representasi internal-eksternal). Proses holistik hubungan antara komponen-komponen kognitif representasi disebut representasi kognitif. Model representasi kognitif terdiri dari 3 jenjang yaitu:
a. Representasi dari rangkaian konkret ke abstrak
1) Konkret (objek nyata, model fisik, manipulatif) (A1)
2) Piktorial (fotografi, gambar, sketsa, grafik) (A2)
3) Abstrak (isyarat, simbol, bahasa verbal, bahasa tulis) (A3)
b. Representasi dari rangkaian illustratif ke generalisasi merefleksikan jenjang kebutuhan kognitif yang berbeda
1) Representasi illustratif (C1)
2) Representasi konseptual (C2)
3) Representasi digeneralisasikan (C3)
c. Representasi dari rangkaian idiosinkratik ke konvensional
1) Representasi idiosinkratik tingkat rendah (S1)
2) Representasi non-standar tingkat menengah (S2)
3) Representasi konvensional tingkat tinggi (S3)
Untuk menggambarkan perbedaan antara representasi kognitif tingkah rendah (konkret-ilustratif-idiosinkratik) dengan tingkat tinggi ( abstrak-generalisasi-konvensional) menggunakan Tabel 2 berikut ini.Tabel 2 Perbedaan Representasi Kognitif Tingkat Rendah dan Tinggi
Guru dalam pembelajaran matematika tidak hanya mendorong anak untuk menggunakan beragam aktivitas representasi saja, tetapi siswa didorong untuk mampu mengkonstruksi hubungan diantara representasi. Hiebert and Lefevre (Hitt, 2000, hal 17) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan anak untuk menggolongkan pengetahuan, terdapat faktor yang menghalangi konstruksi hubungan antara kesatuan pengetahuan adalah pengetahuan hanya didapat dalam lingkungan yang terbatas. Hal ini dapat dijelaskan dengan sistem representasi semiotik. Konsep dikonstruksi melalui tugas-tugas yang menyertakan penggunaan beragam sistem representasi untuk mendukung artikulasi (sambungan) siswa. Pengetahuan konsep siswa akan tetap seimbang jika dia mampu menyampaikan representasi konsep yang berbeda yang tidak menimbulkan kontradiksi. Dalam problem solving, dapat terjadi siswa menghasilkan representasi semiotik yang berbeda dengan representasi guru atau buku teks. Yang menjadi perhatian guru adalah siswa dapat menggeneralisasikan beberapa representasi semiotik dan beberapa di antara representasi semiotik ini bukan elemen dari sistem representasi semiotik. Sebagai contoh representasi semiotik yang dilakukan oleh Soath (dalam Hitt, 2000) dalam menyelesaikan masalah. Kebanyakan kesalahan yang dilakukan siswa adalah memanipulasi representasi dalam sistem representasi. Umumnya kesalahan terjadi dalam konteks aritmatika di SD dan aljabar di SMP. Kesalahan yang lain adalah siswa menggeneralisasikan representasi dari suatu sistem ke dalam representasi dari sistem yang lain.
Konstruksi pengetahuan melibatkan perilaku kesalahan yang dilakukan siswa sehingga menghasilkan skemata yang permanen atau jaringan yang memblokade konstruksi konsep matematis yang masuk akal. Akibatnya skemata yang dibuat siswa tersebut tidak akan menghilang meskipun siswa telah mengkonstruksi skemata alternatif. Oleh karena itu pembelajaran harus mendorong penggunaan hubungan (sambungan) yang baik di antara representasi yang mempertinggi jaringan internal atau skemata alternatif yang berbeda dari skemata yang sudah ada. Skemata baru ini akan membuat siswa membedakan dan melihat kekurangan skemata yang sudah ada.
Ketika siswa menghadapi situasi problem solving, pengetahuannya sedang diuji. Kemungkinan yang terjadi adalah siswa mengkonstruksi 2 skemata yang tidak cocok, dan ketika siswa menghadapi situasi yang kompleks suatu skemata dapat muncul dan terkadang menghasilkan kinerja yang menyesatkan. Pembelajaran memegang peranan yang penting dalam mengkonstruksi skemata yang tepat atau mengkonstruksi skema alternatif. Konstruksi yang tepat memiliki kaitan dengan jaringan pengetahuan yang luas dan saling berkaitan. Namun bukan berarti siswa menghilangkan skemata yang tidak tepat, namun skemata tersebut tetap ada dalam pikiran siswa. Tidak mudah pula untuk mengetahui kapan siswa tidak menyadari ketidaklogisan skematanya dan kapan siswa mengkonstruksi skemata yang benar. Proses internal ini sangat sulit untuk dideteksi. Menurut Perkin dan Simmon (dalam Hitt, 2000), miskonsepsi siswa dalam pembelajaran matematika berkaitan dengan kurangnya kerangka kognitif yang tidak mengijinkan siswa menghubungkannya dengan pengetahuan yang lain pada waktu menyelesaikan masalah dan untuk bekerja lebih jauh terhadap masalah untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Menurut mereka, pembelajaran matematika berfokus pada pengkonstruksian kerangka isi dan problem solving.
5. Tingkat Representasi
Common sense diorganisasi ke dalam matematika dengan lebih formal. Hal ini ditunjukkan dari pengalaman pertama anak dalam proses menghitung yang menjadi dasar bagi anak untuk memulai menstruktur dan memproses menghitung formal. Menurut Freudenthal, anak memulai dengan bahasa umum (common language) yaitu bahasa yang dalam situasi yang bermakna (Nelson dalam Nelissen, 1998). Proses perkembangan terjadi ketika anak mulai menguasai bilangan keseluruhan yang digambarkan sebagai berikut. Anak dapat menunjukkan kuantitas dua dan tiga, menunjukan mana yang lebih kecil, menuliskan simbol-simbolnya dan melakukan perhitungan dengan bilangan-bilangan. Berikutnya adalah transisi dari menghitung ke menstruktur. Hal ini penting karena proses mental aritmatika merupakan dasar bagi semua operasi mental aritmatika yang belum dipelajari siswa. Ketika siswa menemukan struktur bermakna seperti gambaran bilangan pada dadu atau lima jari maka menghitung satu persatu mulai dikurangi. Menggunakan struktur yang demikian, kuantitas dapat dibandingkan satu dengan lainnya. Penjumlahan yang awalnya dilaksanakan dengan menghitung dibawa ke signifier baru yaitu struktur dan gambaran bilangan. Anak telah mengkontruksi dasar dalam bekerja dengan aturan: struktur menjadi signified.
Pecahan juga dapat dipahami dengan tingkat yang beragam. Awalnya anak bekerja secara informal misalnya mengukur panjang meja dengan jengkal dan ditemukan panjangnya 14 jengkal. Selanjutnya anak dapat membuat representasi pecahan yang semiformal contohnya anak menunjukkan dengan skema bagaimana membagi 3 kertas yang sama kepada 4 orang. Pada tingkat representasi yang lebih tinggi, formal, hubungan matematis konsep yang berkaitan menjadi mudah dilihat, anak menyelesaikan masalah seperti membandingkan dengan 0,7. Pada tahap terakhir ini anak telah bekerja dengan representasi simbolik yang murni numerik.
Namun transisi ke tingkat representasi yang lebih tinggi terkadang menjadi masalah dalam pendidikan matematika. Salah satunya dikarenakan denotasi matematis dikacaukan dengan penggunaannya sehari-hari. Contohnya ketika siswa diminta untuk menyebutkan bilangan antara 0,9 dan 0,11 maka siswa akan selalu menjawab 0,10. Hal ini adalah gangguan khususnya transfer negatif antara 2 sistem representasi yaitu sistem bilangan asli (yang juga biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari) dengan sistem bilangan desimal. Oleh karena itu, banyak peneliti yang lebih memberikan perhatian pada transisi dari satu cara representasi ke cara representasi lain.Transisi dari satu cara representasi ke cara representasi yang lain dapat dimunculkan melalui refleksi dan menstimulus siswa untuk mengkonstruksi sendiri.
Representasi dianggap menjadi konstruksi yang bermakna dan cara berpikir ini membawa dampak dalam pembelajaran matematika. Pertama, mengajar matematika tidak jarang merupakan masalah transmisi pengetahuan dan kedua, siswa harus diberi kesempatan untuk menguraikan konstruksi yang dibuatnya. Dalam kelas matematika, siswa diminta untuk mencari volume botol yang paling besar dari beberapa botol dengan bentuk yang berbeda. Anak mulai mengajukan ide: mencelupkan botol ke dalam air, menimbang, mengukur dengan cangkir, mengosongkan botol dan melihat botol mana yang menghasilkan genangan yang terbesar. Guru dan siswa mendiskusikan konstruksi yang berbeda-beda dan siswa didorong untuk mempertahankan gagasannya. Siswa saling mendengarkan pendapat dari siswa yang lain. Guru menanyakan kepada siswa gagasan mana yang paling logis dan mengapa membangkitkan rasa ingin tahu dan interaksi untuk membuktikan. Fase selanjutnya, dilakukan pembuktian dengan percobaan dan gagasan yang paling logis diujicobakan. Pengalaman yang didapatkan selama percobaan dievaluasi dan siswa ditanya untuk menganalisis ulang strategi yang dibuatnya dan didiskusikan dengan siswa lain. Fase konstruksi dan interaksi selanjutnya diikuti dengan fase refleksi. Harapannya adalah konstruksi siswa akan meningkat pada tingkat yang lebih tinggi dengan refleksi. Tidak semua anak dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi, namun refleksi dari siswa yang lain akan membawa representasi pada tingkat yang lebih tinggi.
Ringkasnya, anak membentuk konstruksi dengan dasar pengetahuan awal mereka. Selanjutnya dilaksanakan diskusi dan saling memberikan penjelasan dengan bimbingan guru. Melalui perdebatan terhadap ide dan gagasan teman yang lain selama diskusi, memunculkan refleksi yang penting. Karena refleksi berkembang dari dialog, refleksi dapat dikarakteristikkan sebagai dialog yang diinternalisasi yaitu dialog eksternal yang menjadi dialog internal. Komunikasi dengan orang lain dipahami sebagai dialog yang diinternalisasi. Refleksi dari tindakan konstruksinya sendiri, memungkinkan anak mngkonstruksi representasi pada tingkat yang lebih tinggi.
Representasi internal dan eksternal berperan dalam belajar dan pembelajaran untuk memfasilitasi pemahaman konsep. Contohnya, ketika siswa menggambar diagram atau menulis suatu formula mendeskripsikan apa yang dipikirkannya, representasi eksternal (diagram) digunakan oleh siswa dapat dipikirkan seolah-olah mewakili representasi internalnya. Sama dengan ketika siswa membuat formula gambaran mental operasi yang digambarkan dalam formula aritmetika, representasi internal (gambaran mental) siswa dapat dipikirkan seolah-olah mewakili representasi eksternal (formula aritmetika) yang dihasilkannya. Hal ini adalah dua interaksi antara representasi internal dan representasi eksternal yang membantu mendorong pemahaman dan perkembangan konsep matematis (Zhang, dalam Gyamfi, 1993). Miura (dalam Barmby, 2007) menghubungkan representasi internal dan eksternal sebagai ”kognitif” dan ”pembelajaran”. Proses pemahaman dapat dimediasi melalui representasi eksternal, contohnya membuktikan mengapa adalah bilangan irasional dapat diperoleh dengan manipulasi simbol dan pernyataan logis. Dalam penilaian, guru biasanya bertanya kepada siswa untuk mengkomunikasikan hasil pemahamannya menggunakan representasi eksternal. Terdapat asumsi yang mengaitkan antara representasi eksternal dan internal yang digunakan dalam pembelajaran atau penilaian, dan representasi internal dikembangkan oleh siswa. Namun kita harus mengakui kesulitan bahwa ” adalah suatu hal yang problematis untuk mengasumsikan hubungan yang dipelajari secara eksplisit telah diinternalisasi oleh siswa. Kita hanya dapat mencoba dan mendapatkan pemahaman siswa melalui representasi eksternal, mengingat apa yang kita pikir adalah struktur pemahaman ini.
6. Meningkatkan Level Kemampuan Representasi melalui Refleksi
Dalam teori sosio-konstruktivistik, matematisasi dianggap sebagai proses penunjukkan (signification) dimana representasi internal berkembang pada level yang lebih tinggi (Cobb & Bauersfeld, 1995; Cobb, 1994; Cobb et al., 1997; Gravemeijer, 1995 dalam Nelissen). Sebuah penelitian yang dilakukan Nelissen tahun 1993 tentang berpikir reflektif siswa SD menunjukkan bahwa siswa memecahkan masalah pada level advanced tidak ragu-ragu untuk mengubah strateginya, tidak takut meninggalkan cara penyelesaian tunggal, mencari keterkaitan dengan pengetahuan umumnya tentang dunia, mengontrol pertanyaannya secara spontan tentang penyelesaian masalah, membandingkan dua prosedur penyelesaian, dan mengembangkan prosedur-prosedur yang mungkin . Hal ini adalah karakteristik dari berpikir reflektif.
Siswa yang dikategorikan sebagai pemecah masalah yang kurang hanya akan melaksanakan prosedur yang standar. Contohnya, suatu gambar menunjukkan sejumlah bintang di langit. Siswa ditanya kira-kira ada berapa bintang di dalam gambar. Siswa yang miskin kemampuan aritmatika memilih menggunakan stik (batang) untuk strategi menghitung, dimana mereka tidak menukarnya dengan stategi perkiraan yang lebih cerdas. Siswa demikian adalah siswa yang tidak melakukan refleksi atau siswa yang hanya pada level rendah. Contohnya, mereka tidak dapat membandingkan dua prosedur yang berbeda, meskipun hanya membandingkan prosedurnya dengan prosedur yang dilakukan temannya.
Piaget memandang refleksi adalah prasyarat untuk meningkatkan level anak. Abstraksi reflektif adalah konsep-konsep pada level yang lebih tinggi, yang berkembang pada dasar refleksi. Sedangkan menurut Freudenthal refleksi membawa matematisasi pada level yang lebih tinggi:” matematika yang disajikan, dilakukan pada level yang rendah, dibuat sadar, dianalisis, dan ditransformasikan ke dalam materi pada level yang lebih tinggi.
Dalam teori Vygotsky, refleksi- seperti setiap fungsi mental yang lebih tinggi- berkembang dari dialog antara anak dengan orang dewasa. Untuk alasan ini, refleksi dapat disebut sebagai dialog internalisasi. Perkembangan refleksi terlihat tidak dapat dilepaskan dengan komunikasi karena komunikasi adalah prasyarat untuk perkembangan proses kognitif yang lebih tinggi. Freudenthal memandang refleki sebagai perkembangan dari interaksi: mencerminkan diri sendiri pada orang lain untuk melihat melalui orang lain tersebut.
Transisi menuju level representasi yang lebih tinggi tidak mengatasi secara langsung dari interaksi dan pertukaran ide, tetapi dari apa yang menimbulkan interaksi yaitu refleksi. Perkembangan representasi ke level yang lebih tinggi dimediasi oleh refleksi, jika tidak akan ada resiko dimana ide seseorang diadopsi secara pasif. Momen reflektif yang penting adalah ketika seseorang membandingkan pendekatannya dengan pendekatan orang lain. Sangat mungkin proses reflektif terjadi dalam pikiran anak yang berpartisipasi dalam penelitian pendidikan yang dilaporkan Cobb. Cobb dan kawan-kawan menganalisis diskusi siswa dalam pandangan sosiologis dan menunjukkan bahwa norma sosial membentuk diskusi dan struktur kelompok yang dinamis mencirikan adanya interaksi sosial. Menurut pandangan sosio-konstruktivistik, matematisasi dapat digambarkan sebagai berikut.Kita dapat memperluas skema di atas menjadi seperti berikut ini
Bagaimana refleksi didorong dalam proses matematisasi?. Menurut Doise & Mugny, konflik sosio-kognitif dapat digunakan sebagai strategi didaktik untuk mendorong refleksi. Konflik sosio-kognitif terjadi selama komunikasi di dalam interaksi sosial. Siswa yang dihadapkan dengan suatu dilema terhadap siswa lain, menemukan bahwa perspektif dan solusi dari temannya adalah pokok persoalannya dan melaluinya kebutuhan untuk membandingkan perspektif yang berbeda akan meningkat. Konflik sosio-kognitif dapat didorong dengan beragam cara yaitu dengan menantang respon siswa, memperkenalkan masalah termasuk beberapa solusi yang mungkin, menyelesaikan masalah yang open-ended, menggunakan penyusunan pertanyaan, dan dengan menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan karena data yang hilang.
Sebagai tambahan refleksi , transisi ke level representasi yang lebih tinggi dapat pula dibantu dengan sejumlah pengertian yang diberikan oleh siswa itu sendiri. Mekanismenya adalah common sense → representasi konkret dan konkret material. Sebagai pendahuluan dari proses matematisasi, perhatian diberikan ke permulaan konkret siswa. Konsep ”konkret” dapat diinterpretasi dengan 2 cara: yang pertama, sebagai material konkret dan yang kedua sebagai pengalaman. Menurut Freudenthal, awal mula matematisasi adalah pengalaman dan disebutnya sebagai common sense atau representasi common sense (Gravemeijer & Nelissen dalam Nelissen). Awalnya, representasi dasar yang dipahami oleh anak-anak ditemukan pada pengalaman yang bermakna bagi anak. Tindakan menghitung menggambarkan bagaimana memunculkan kemajuan numerasi, secara berulang untuk mncapai level yang lebih tinggi, dan pada setiap level berubah menjadi common sense. Dalam didaktik realistik pendidikan matematika hal ini disebut dengan matematisasi vertikal: pada level ini, anak merepresentasikan dari model situasi yang bersifat kontekstual dan pada dasar model vertikal ini konsep menjadi berkembang sebaik representasi seperti tabel, skema, dll.
Psikologi kognitif, mekanistik, dan strukturalistik didaktik pendidikan matematika mempercayai bahwa realisasi pengetahuan matematis dalam representasi eksternal. Sebagai pembeda dari model situasi realistik, representasi ini disebut ”material-konkret”, dimana dalam model realistik disebut sebagai ”common sense concrete”. Representasi material-konkret dianggap sebagai perwujudan matematika dalam bentuk murninya. Sebagai contoh: konsep luas permukaan direpresentasikan dengan persegi dimana banyaknya kolom dikalikan dengan banyaknya baris. Prosedur ini secara matematis benar, meskipun prosedur ini sesungguhnya berasal dari tahap formal akhir dari standar penghitungan luas permukaan (L X W).
Dalam teori pembelajaran Galperin, proses belajar ditemukan pada matematisasi (tindakan material). Tindakan material terjadi ketika ada intervensi eksternal dalam realitas konkret (manipulasi objek): tindakan mental terjadi ketika intervensi internal terjadi (Tomic & Kingma dalam Nelissen). Pokok metode formasi tindakan mental Galperin adalah formasi tindakan mental berharga berdasarkan tindakan material. Apa wujudnya bagi anak, dapat dianggap sebagai representasi material-konkret. Common sense bukan tujuan anak, tetapi common sense menganggap bahwa struktur dari apa wujudnya tadi membimbing tindakan anak. Dengan kata lain, dasar representasi adalah material-konkret bukannnya common sense.
Representasi material-konkret biasanya adalah buatan, contohnya material Cuisenaire yang terdiri dari balok-balok kecil yang berbeda warna dan panjangnya, digunakan sebagai model untuk mengasosiasi bilangan. Beberapa anak sukses melakukannya, khususnya karena mereka tidak mempunyai pengetahuan struktur yang mendasari dan tidak tahu apa yang sebenarnya direpresentasikan (Cobb, Yaeckel & Wood, dalam Nelissen). Setelah semua itu, struktur yang mendasarinya ditemukan dan dibuat konkret oleh orang dewasa yang telah mempunyai wawasan dalam sistem mengkonkretkannya. Akibatnya mereka memahami perwujudannya. Bagi anak, prosedur yang disebutkan di atas tidak berarti karena mereka tidak mengetahui perwujudan tersebut menunjuk pada apa. Pendekatan ini menimbulkan kritik. Dalam belajar matematika, adalah penting untuk anak membentuk representasi internal dari pengalaman yang dimilikinya. Memberi anak dengan representasi eksternal yang siap pakai akan menghalangi proses pembentukan representasi internal.
Cobb mencirikan didaktik ini sebagi pendekatan representasi pembelajaran yang memberikan peningkatan pada paradok belajar. Sementara perwujudan adalah suatu alat untuk menjelaskan suatu ide atau teori, pengetahuan tentang ide atau teori khusus itu dibutuhkan sebagai syarat untuk memahami apa yang telah dibuat konkret. Untuk mencegah paradok belajar maka pembelajaran harus berdasarkan konteks yang bermakna bagi siswa, membolehkan anak memberi makna terhadap tindakannya dan mengembangkan representasinya. Hal ini tidak berarti bahwa representasi yang diperkenalkan oleh guru secara definisi adalah salah, tetapi anak harus diberikan kesempatan untuk megembangkan representasinya sendiri atau bersama dengan bimbingan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Barmby, Patrick., dkk. 2007 How can We Assess Mathematical Understanding?. In Woo, J. H., Lew, H. C., Park, K. S. & Seo, D. Y. (Eds.). Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp. 41-48. Seoul: PME
Cox, Richard., Paul Brna. Supporting the Use of External Representations in Problem Solving: the Need for Flexible Learning Environments. In Journal of Arti_cial Intelligence in Education. University of Edinburgh: Department of Artificial Intelligence
Duval, Raymond. 1999. Representation, Vision and Visualization: Cognitive Functions in Mathematical Thinking. Basic Issues for Learning. In Hitt, Fernando, & Santos, Manuel (Eds.). Proceedings of the Twenty First Annual Meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Columbus, OH: ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics, and Environmental Education
Gyamfi, Kwaku Adu. 1993. External Multiple Representations in Mathematics Teaching. a thesis submitted to the graduate faculty of north carolina state university in partial fulfillment of the requirements for the degree of master of science
Hitt, Fernando. 2000. Construction of mathematical concepts and cognitive frames. http:www.matedu.cinvestav.mx/Hitt-w.pdf diakses tanggal 20 Februari 2009
Hwang, W.-Y., Chen, N.-S., Dung, J.-J., & Yang, Y.-L. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. In Educational Technology & Society
Luitel, B. C. 2002. Multiple representations of addition and subtraction related problems by third, fourth and fifth graders. http://www.ses.curtin.edu.au/~luitelb/ diakses 17 Februari 2009
Nelissen, Jo M. ., Tomic, Welko. 1998. Representation in Mathematics Education. U. S Department of Education
Tchoshanov, M. 2001. Representation and Cognition:Internalizing MathematicalConcepts. In Hitt (Ed) Working Group on Representations and Mathematics Visualization (1998-2001). http://www.matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf diakses 17 Februari 2009
assalam,
BalasHapusbu multi representasi dalam pembelajaran fisikanya ada tidak bu?