Sabtu, 20 Agustus 2011

MENGAJAR STRUKTUR MATEMATIKA: BRUNER DAN REPRESENTASI KOGNITIF KONSEP-KONSEP MATEMATIS (BAG V)



H.    VISUALISASI MATEMATIS DAN HUBUNGAN VISUAL DAN SIMBOLIK
1.      Visualisasi
Visualisasi telah menjadi kajian sejumlah peneliti pendidikan matematika, khususnya setelah penemuan teknologi komputer yang memungkinkan semakin banyak muncul display visual. Banyak penliti yang memperhatikan tentang visualisasi dan bernalar visual dalam belajar matematika (Greer, 1994; Horgan, 1993; Barwise dan Etchemendy, 1991; Dorfler, 1991; reyfus; 1991; Zimmerman dan Cunningham, 1991; Bishop, 1989; Presmeg, 1989;Rival, 1987; Davis dan Anderson, 1979 dalam Nemirovsky, 1997). Beberapa di antara mereka memandang visualisasi adalah kerja dari matematikawan historis dan matematikawan saat ini yang telah membuat penggunaan representasi bentuk-bentuk visual (Horgan, 1993; Dreyfus, 1991; Rival, 1987; Davis dan Anderson, 1979 dalam Nemirovsky, 1997). Beberapa peneliti lain menyatakan bahwa berpikir visual sebagai sumber alternatif bagi siswa bekerja dengan matematika (Barwise dan Etchemendy, 1991; Dorffler, 1991; Goldenberg, 1991; Tall, 1991 dalam Nemirovsky, 1997), suatu sumber yang dapat membuka untuk munculnya beragam cara berpikir tentang matematika daripada berpikir pembuktian tradisional logico-propositional dan linguistik dan manipulasi simbol aljabar tradisional.
Beberapa penulis juga mengkaji contoh-contoh khusus visualisasi dan bernalar visual dalam konteks problem solving. Beberapa di antaranya berusaha mengelompokkan strategi solusi pembelajar sebagai visual atau nonvisual (Zazkis, Dubinsky dan Dautermann, 1996; Galindo, 1995; Schofield dan Kirby, 1994; Shama dan Dreyfus, 1991 dalam Nemirovsky, 1997).( Zazkis, Dubinsky, dan Dautermann;(1996), dalam Nemirovsky, 1997) menggambarkan sebuah model untuk menggunakan visual dan strategi analitik secara bersamaan terkadang lebih efektif daripada hanya menggunakan visual atau strategi analitik saja.
Presmeg (1986, 1989, 1992) selangkah lebih maju dengan menganalisis strategi visual siswa untuk mengembangkan jenis-jenis gambaran visual yang digunakan siswa: “Konkret, gambaran piktorial”, “Gambaran Pola”, “Gambaran Memori Formula”, Gambaran Kinestetik”, dan “Gambaran dinamik”.  Presmeg juga mendiskusikan keuntungan dan kelemahan menggunakan gambaran visual. Beberapa penelitian dilakukan tentang penggunaan lingkungan software yang ternyata dapat membantu mengurangi kelemahan gambaran visual, khususnya kepercayaan terhadap diagram tunggal (Yerushalmy dan Chazan, 1990 dalam Nemirovsky, 1997). Presmeg mengembangkan ide gambaran pola tahun 1992, dia mendefinisikan gambaran pola sebagai jenis gambaran dimana detil konkret diabaikan dan hubungan murni digambarkan dalam skema visual-spatial.
            Menurut beberapa peneliti, lingkungan software memberikan kontribusi terhadap kemampuan siswa memvisualisasi matematika (Borba, 1993; Barwise dan Etchemendy, 1991; Battita, Clemnt, dan Wheatley, 1991; Goldenbrg, 1991; Hershkowitz, Friendlander dan reyfus, 1991, Tall, 1991 dalam Nemirovsky, 1997). Beberapa peneliti yang bekerja dengan lingkungan software juga melakukan analisis yang lengkap terhadap kerja siswa dalam mempersiapkan visualisasi (Moschkovich, 1996; Monk dan Nemirovsky, 1994; Borba, 1993; Hershkowitz, Friendlander, dan Reyfus, 1991; Yerushalmy dan Chazan, 1990 dalam Nemirovsky, 1997), tanpa bertujuan mengelompokkan siswa atau strategi yang digunakannya. Penelitian-penelitian ini membantu menggambarkan karakteristik lingkungan software yang membantu siswa dalam proses berpikir visual dan penelitian lain yang tidak melibatkan lingkungan software, menggunakan studi kasus untuk menggambarkan sifat dasar visualisasi dan berpikir visual.
Dalam kerja tentang visualisasi dan berpikir visual, banyak definisi yang dimunculkan (Bishop, 1989 dalam Nemirovsky, 1997). Banyak peneliti yang bekerja dengan definisi implisit atau fleksibel, tetapi mereka menyetujui bahwa mereka fokus pada persepsi dan manipulasi gambaran visual sebagai lawan dari informasi pancaindera. Ketika peneliti berusaha mengemukakan bukti bagaimana proses visualisasi pembelajar, kesulitan muncul dari kebutuhan menggambarkan apakah gambaran visual berada di dalam pikiran siswa atau di luar pikiran siswa, pada selembar kertas atau layar komputer. Presmeg melihat bahwa gambaran visual berada di dalam pikiran, “ gambaran visual adalah skema mental yang menggambarkan informasi spatial atau visual”, dan dia menjelaskan mengapa skema mental ini dapat muncul dengan atau tanpa kehadiran “objek” yang akan divisualkan. Namun, sejumlah peneliti menekankan pada bagian penting kerja visualisasi di kerja tertulis atau kerja yang dilakukan dengan komputer. Bishop (1989) mengutip kerja Moses (1977), yang menyatakan nilai “derajat visualitas” berdasarkan “banyaknya proses solusi visual (seperti gambar, grafik, daftar, tabel) yang disajikan dalam solusi tertulis, (Bishop, 1989, dalam Nemirovsky, 1997). Zimmermann dan Cunningham (1991) terlihat ragu-ragu untuk menentukan letak persoalan dimana gambaran visual berada, menggunakan definisi visualisasi sebagai proses menghasilkan atau menggunakan representasi geometris atau grafis dalam konsep, prinsip, atau masalah matematika, atau apakah visualisasi sebagai hasil gambar tangan atau komputer, tetapi pada halaman 3 menyebutkan visualisasi melibatkan pembentukan gambaran (secara mental, atau tertulis, atau dengan bantuan teknologi). Beberapa penulis berusaha menggambarkan proses hubungan yang dibentuk oleh gambaran eksternal dan informasi di dalam pikiran. Schnotz, Zink, dan Pteiffer (dalam Nemirovsky, 1997) menggambarkan visualisasi sebagai proses pemetaan struktur konfigurasi spatial-visuo kepada model mental, dalam suatu jenis gambaran proses pemrosesan informasi.
Zazkis, Dubinsky, dan Dautermann (dalam Nemirovsky, 1997) menyatakan persoalan apakah visualisasi terjadi di dalam pikiran pemvisual secara murni atau harus melibatkan gambar, objek, atau gambaran yang diperumum dengan komputer ketika mereka menyajikan definisi yang lebih tepat yaitu visualisasi adalah tindakan dimana seseorang membuat hubungan yang kuat antara konstruksi internal dan sesuatu yang diakses yang diperoleh melalui pengertian (senses). Hubungan tersebut dapat dibuat setidaknya dengan 2 tujuan. Tindakan visualisasi dapat terdiri dari konstruksi mental objek atau proses yang mengasosiasi seseorang dengan objek atau kejadian yang dirasakannya secara eksternal. Tindakan visualisasi dapat terdiri dari konstruksi objek atau kejadian pada beberapa media ekternal seperti kertas, papan tulis, atau layar komputer dimana seseorang mengidentifikasi objek atau proses di dalam pikirannya Zazkis, Dubinsky, dan Dautermann, 1996, hal 441 dalam Nemirovsky, 1997).
Definisi ini lebih tepat daripada definisi pada literatur yang lain yang tidak membatasi visualisasi pada pikiran pembelajar atau beberapa media eksternal, tetapi mendefinisikan visualisasi sebagai alat untuk bergerak diantara keduanya (pikiran dan media eksternal). Zazkis, Dubinsky, dan Dautermann konsisten dengan literatur visualisasi dimana mereka membuat adanya perbedaan antara apa itu eksternal (pada kertas atau layar komputer) dan apa itu internal (di dalam pikiran). Namun, mereka membolehkan seseorang yang menganggap objek-objek ini sebagai internal atau eksternal, menghindari membuat klaim bahwa mereka sebagai peneliti dapat mendefinisikan apa itu internal atau eksternal.
2.      Intenal vs Ekternal
Kesulitan mendefinisikan visualisasi muncul dari persoalan apakah representasi visual itu merupakan internal atau eksternal karena adanya dikotomi antara internal (dalam pikiran) dengan eksternal (pada kertas, layar komputer, dsb). Sesuatu dapat dinyatakan sebagai internal atau eksternal seperti Zazkis, Dubinsky, dan Dautermann dalam definisi yang mereka buat, tetapi kita menolak dugaan bahwa sebarang gambar, objek, representasi dsb terletak di dalam atau diluar pikiran seseorang. Kita percaya bahwa konstruksi di dalam lawan konstruksi di luar pikiran sangat terbatas karena hal ini tidak membolehkan kemungkinan tidak terjadi di keduanya (dalam dan luar), atau terjadi di dalam dan di luar pada saat yang bersamaan.
Cobb, Yackel, dan Wood (dalam Nemirovsky, 1997) mengangkat persoalan dualisme yang diciptakan antara matematika di kepala siswa dengan matematika dalam lingkungan siswa “disajikan dalam bentuk apa yang mereka sebut sebagai pandangan representasional pikiran,” yang mereka temukan menjadi umum dalam pendidikan matematika saat ini. Dalam pandangan representasional pikiran, tujuan keseluruhan pembelajaran adalah membantu siswa mengkontruksi representasi mental yang mencerminkan hubungan matematis yang terletak di luar pikiran dalam representasi pembelajaran dengan jelas atau tepat. Menurut Cobb, Yackel, dan Wood, pandangan ini berasal dari konflik langsung dengan pandangan konstruktivis belajar, yang mana belajar digambarkan sebagai proses siswa mengkonstruksi pengetahuan matmatis secara aktif ketika siswa berusaha membuat pengertian dunia. Sebagai resolusi konflik ini, penulis (Nemirovsky) menyarankan: sebagai alternatif yang menyatukan matematika dengan orang yang tahu,  hal ini berguna bagi tujuan pendidikan untuk mengkarakteristikkan matematika sebagai aktivitas individual dan kelompok, dimana apa yang secara tradisional disebut isi dapat muncul dalam interaksi guru dan siswa  ketika guru membimbing aktivitas konstruksi indivisual siswa dan evolusi komunitas kelas sebagai pengertian bersama dan praktek. Strategi ini menyatukan matematika dan orang yang tahu dengan menghindari godaan rancangan pengertian para ahli ke dalam material pembelajaran, dan menghargai pengertian matematis bergantung pada cara dimana siswa menginterpretasi dan bertindak dengan sistem simbol pedagogis ketika mereka mendiskusikan pengertian-pengertian matematis dengan siswa lain di kelas. Pandangan pengertian matematis ini meniadakan kebutuhan menggambarkan apa itu di dalam atau di luar pikiran siswa, karena matematika di kelas ada tidak pada kedua tempat tersebut, tetapi muncul sebagai aktivitas kelompok siswa dan guru.
Cobb, Yackel, dan Wood (dalam Nemirovsky, 1997) menyatakan perspektif material pembelajaran yang mngakui bahwa alat dan material yang digunakan siswa di kelas membutuhkan pengertian hanya melalui aktivitas siswa dengan alat-alat ini. Pernyataan ini senada dengan Teasley dan Roschelle, dan Meira (dalam Nemirovsky, 1997) yang menolak dugaan transparansi salah satu sarana komputer atau fisik dan perwujudan fisik atau prinsip matematisnya yang akan menjadi nyata dalam kerja siswa dengan alat-alat itu. Meira menyatakan bahwa alat fisik dapat diajarkan sebagai pengganti “sarana percakapan”, dan Teasley dan Roschelle menggambarkan display eksternal sebagai sarana untuk membuat pengertian daripada sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Kita memandang alat-alat dimana siswa bekerja dengannya dengan cara yang sama. Kita lebih suka berpikir bahwa alat-alat tersebut adalah sarana percakapan daripada sebagai alat yang membantu siswa menginternalisasi representasi visual khusus. Pengertian yang akan dikonstruksi siswa dengan menggunakan grafik tertentu, misalnya, tidak dapat diprediksi, kita merasa bahwa sudi kasus memberikan peran penting untuk membantu kita menyelidiki detil pengertian individual dan idiosinkratik siswa yang dikonstruksi sendiri oleh siswa dari grafik. Argumen yang disampaikan Cobb, Yackel, dan Wood dibuat untuk menghindari kontradiki pandangan representational pikiran sesuai dengan pemahaman aktivitas bersama matematis kelompok siswa di kelas. Namun aktivitas kelompok ini harus melibatkan aktivitas konstruksi individual.
3.      Mengkonstruksi Pengertian Matematis: Menghubungkan Visual dan Simbolik
Selanjutnya akan dibahas tentang hubungan antara tindakan pembelajar, visualisasi dan cara-cara memvisualkan. Akan digambarkan tentang microworld, mathstick yang didesain untuk membantu siswa mengkonstruksi pengertian matematis dengan menghubungkan ritma tindakan mereka dan representasi visual dan representasi simbolik yang berkorespondensi yang dikembangkan siswa. 
Terdapat kesulitan mendasar dalam belajar matematika. Pengertian matematis berasal dari hubungan: hubungan matematis-intra yang mengaitkan pengetahuan matematis baru dengan pengertian matematis lama, membentuknya ke dalam bagian sistem matematis; dan pengertian matematis-ekstra yang berasal dari konteks dan setting yang memasukkan pengalaman dunia. Bagaimana pembelajar membuat pengertian hubungan ini? Bagaimana pengertian ini dikonstruksi? Untuk tujuan apa sumber media matematis, setting masalah, struktur aktivitas mendorong proses pembentukan pengertian?
Realitas virtual matematika cukup gamblang terhadap kebutuhan jika sumber daya eksternal sembarang. Tetapi kebanyakan, tantangan bermain game realitas virtual membuktikan. Kita dapat menginterpretasi bahwa tugas utama pendidikan matematika adalah mendesain setting matematis yang penuh dengan sumber daya, setting yang membuat pengertian terhadap pembelajar. Berkaitan dengan hal ini, selama beberapa tahun terdapat fokus pada lingkungan komputasional, dimana siswa dapat menggali banyak hal untuk mengkonstruksi pengertian.
Kelemahan kritis dari usaha-usaha menstruktur situasi belajar matematis terdapat pada jurang (pemisah) antara tindakan dan ekspresi. Banyak usaha dimulai berdasarkan premis bahwa belajar matematika dimulai dengan konkret, dan naik menuju abstrak. Hubungan hierarki ini adalah kunci keberanian usaha dalam pendidikan. Sebuah contoh berikut akan digali dan berdasar kurikulum Nasional UK, diilustrasikan dengan gambar sebagai berikut.
Konstruksikan persegi-persegi dari batang korek api, menggunakan sejumlah batang korek api untuk membuat 1, 2, 3, 4, ... persegi, dan generalisasikan polanya
 
 
Ide dari gambar tersebut sangat jelas. Siswa diharapkan mengidentifikasi hubungan di dalam pola numeris yang berasal dari situasi praktis atau spatial, mengekspresikannya dalam bahasa alami dan pada akhirnya memformulasi representasi simbolik. Dengan proses ini, siswa akan membangun pengertian aljabar bagi notasi simbolik. Selama bertahun-tahun, terjadi peningkatan penelitian yang berhubungan dengan generalisasi masalah yang menyarankan bahwa jalan dari merasa ”pola” ke konstruksi representasi aljabar akan lebih kompleks dan penuh dengan masalah-masalah yang potensial bagi siswa.
Ketika kebanyakan siswa mampu mengidentifikasi beragam pola (Stacey, 1989 dalam Noss, 1997), banyak dari pola ini yang tidak mampu membawa siswa untuk mengekspresikan hubungan fungsional ataupun representasi aljabar dalam beragam cara (Lee dan Wheeler, 1987 dalam Noss, 1997). Siswa yang mampu mengaplikasikan metode yang tepat pada sejumlah kasus khusus sering tidak dapat menyampaikan pola umum atau hubungan dalam bahasa alami, dan ekspresi simbolisme aljabar masih lebih problematik. Terdapat pula pertanyaan tentang status ekspresi aljabar seolah-olah hal ini dikonstruksi oleh siswa dengan berhasil. Lee dan Wheeler menyatakan bahwa jarang diantara siswa yang menghasilkan representasi aljabar akan mengecek ekspresi-ekspresi ini- secara empiris dengan mengganti contoh-contoh khusus. Stacey (dalam Noss, 1997) menemukan bahwa hanya sejumlah kecil siswa yang merespon dengan bertanya untuk mendapatkan penjelasan dengan menyediakan pembenaran matematis demikian pula Arzarello (dalam Noss, 1997) menyatakan tentang kesulitan siswa menyediakan pembenaran valid yang matematis dari aturan aljabar yang digunakan siswa. Kenyataan menyatakan bahwa formulasi aljabar sering tidak berhubungan dengan aktivitas yang mendahuluinya, tak berarti tambahan bahwa tak satupun yang menjelaskan masalah atau menyediakan alat untuk memvalidasi solusinya. Aljabar dipandang sebagai titik akhir, solusi masalah itu sendiri daripada sebagai alat bagi problem solving. Selanjutnya kita akan melakukan pengamatan yang berpusat pada posisi teoritis: pencarian yang disajikan secara umum sebagai karakter siswa, rupanya adalah kurikulum yang independen, pengajuan masalah atau alat yang disediakan untuk solusi siswa. Kita akan berusaha keras untuk menerima dan memilih dari literatur standar 2 strategi khusus untuk mengillustrasikan kesulitan kita.
Pertama, identifikasi metode ”short cut” dengan asumsi yang salah tentang perbandingan langsung diantara pola yang dibuat (Stacey menyebutnya strategi ”whole object”). Mengapa hal ini menjadi masalah? Interpretasi kita adalah bahwa ini adalah hasil ketidakterhubungan antara tindakan (pada selembar kertas, batang korek api, bentuk-bentuk plastik atau kubus beragam dasar); hasil atau keluaran tindakan (jumlah batang korek api); dan deskripsi siswa (formulasi aljabar). Dalam keadaan ini, terlihat tidak dapat dihindari bahwa satu aspek muncul mendominasi; seringnya, perhatian cenderung terfokus pada sifat (atribut) numerik keluaran. Masih lebih buruk lagi, matematika sekolah menjadi dikonstruksi oleh siswa dan guru adalah sama- sebagai data stereotip berasal dari aktivitas ”pola titik (pattern-spotting)” yang mana diterima untuk mencari hubungan dengan mengkonstruksi tabel data numerik tanpa menyadari kebutuhan memahami struktur pondasinya (masalah ini menjadi gawat khususnya di UK).
Strategi kedua bahwa kita ingin menyoroti berdasar literatur yaitu kecenderungan siswa fokus pada hubungan berulang dalam satu variabel daripada hubungan fungsional dua variabel. Hal ini tidak dapat disederhanakan sebagai kegagalan siswa karena strategi dipengaruhi oleh sifat tugas dan presentasinya. Kita tahu, sebagai contoh, bahwa perubahan sederhana barisan sehingga variabel input tidak meningkat pada saat yang sama mengubah respon siswa secara dramatis- solusi berulang sederhana. Sama halnya, tidak semua literatur tentang hal ini digambarkan dari skenario paper and pencil statis yang susah untuk mengkonstruksi hubungan antara 2 jenis hubungan yang berbeda: berulang (dalam kolom) dan fungsional (dalam baris). Hasilnya bahwa berulang biasanya merendahkan secara pedagogis selera fungsional. Confrey menggambarkan bagaimana dia membangun alat dalam Function Probe untuk mendukung apa yang disebutnya ”covariation approach” fungsi, yang memberikan bobot yang sama terhadap hubungan dalam kolom dan baris.
Dari pandangan penelitian, ada 2 persoalan pokok. Pertama, aktivitas dalam setting paper-and-pencil memberikan sedikit cara memperoleh pengertian mendalam (insight) ke dalam pendekatan siswa: tidak ada jendela alami dalam membuat pengertian pembelajar. Dalam setting komputasional, terkadang mungkin untuk mengkonstruksi deskripsi berpikir siswa dengan belajar apa yang dikonstruksi dan bagaimana kita seharusnya selanjutnya menerapkannya dalam praktek lapangan.
Kedua, ketika aktivitas menjadi salah satu pattern-spotting empiris, siswa merumuskan kasus dalam cara yang mereka suka. Formulasi ini dapat menjadi sistematis, dapat matematis: tetapi tidak dapat secara bersama-sama- hal ini tidak saja menjadi sesuatu yang diperoleh dengan bekerja dengan pendekatan matematis/sistematis dibandingkan dengan sesuatu yang pragmatis dan empiris. Faktanya, dalam kasus dimana fokus data numeris berlaku, siswa benar-benar mengalihkan dari tujuan aktivitas yang diharapkan. Sebagai pengganti masalah mengenalkan siswa pada ide fungsi  dan dugaan hubungan invarian antara variabel bebas dan terikat, siswa dapat dengan mudah memandang tujuan aktivitas sebagai tantangan untuk mengembangkan metode aritmatika yang memudahkan siswa menghitung nilai yang diperlukan seperti apa yang dikatakan oleh Balacheff bahwa siswa menggunakan pendekatan pragmatis daripada teoritis terhadap masalah.
Kita kembali mengillustrasikan hal-hal tersebut dengan kembali menggunakan aktivitas batang korek api pada gambar di atas. Kesulitan kita bukan pada aktivitas itu sendiri: aktivitas, masalah tidak dengan sendirinya matematis atau tidak matematis. Segala sesuatu tergantung pada cara dimana hubungan dibuat, jenis percakapan yang muncul selama aktivitas dan struktur yang dikonstruksi di sekitarnya. Bukan suatu pertanyaan menghitung korek api, menduga banyak persegi yang mungkin, memposisikan hubungan antara persegi dan korek api yang dapat dibuat - di tangani guru yang sensitif dan atmosfer matematis yang tepat - semuanya memulai dengan berat mengabstrakkan hubungan. Kesulitannya adalah mereka sering tidak melakukannya. Alasannya jelas. Dengan menggunakan korek api yang real, tindakan pada korek api itu mengharuskan tidak mendorong generalitas, bukan kebutuhan ekspresi matematis. Alat untuk mengekspresikan tindakan terpisah dari aktivitas itu sendiri. Hal ini benar bahwa dalam formulasi kurikulum seperti ekspresi aljabar adalah tujuan. Batang korek api sebagai suatu jenis aljabar visual- tetapi dalam prakteknya korek api bukan apa-apa. Ide bermain menggunakan batang korek api dan berpikir tentang pola visual akan membawa aljabar menjadi lebih mudah; pertama karena hal ini menempatkan kita dalam posisi asumsi dimana siswa sudah menyerap apa yang kita coba ajarkan; dan kedua karena hal ini mengabaikan percakapan matematika yang memberikan sedikit status bermain konkret atau tugas terstruktur visual.
Dalam pandangan kita, prioritas penelitian adalah mencari cara yang membantu siswa membangun hubungan antara melihat, bekerja, dan mengekspresi, terhadap penelitian bagaimana pengrtian matematis distruktur dengan alat yang tersedia untuk mengekspresikan hubungan dalam belajar dan menemukan sejauh mana bantuan proses mdiasi (atau tidak) dalam konstruksi pengertian matematis yang diharapkan oleh gurunya atau desainer kurikulum. Kerja kita berpusat pada konstruksi autoexpressive lingkungan komputasional; yaitu lingkungan dimana satu-satunya cara memanipulasi dan merekonstruksi objek adalah dengan mengekspresikan hubungan diantaranya dengan eksplisit. Lingkungan demikian menghasilkan dunia yang memanipulasi objek dan berpikir tentang hubungan diantara mereka; fokus pada bahasa sebagai mekanisme yang mengontrol objek, bertujuan  membuat hubungan aljabar antara sesuatu yang semi formal, konkret dan bermakna.
Seringkali, kita sensitif terhadap konotasi kebudayaan ide program (kebanyakan negatif), kita tidak bermaksud memusatkan pada kekhususan lingkungan program yang menyokong bahan empiris. Dalam hal lain, sejak pusat perhatian mengidentifikasi pengaruh antara aktivitas, konstruksi pengertian siswa, dan media pengertian ini disampaikan dan dikembangkan, kita dipaksa menganalisis peran media komputasional.

1.      Membangun Visualisasi ke dalam Sistem yang Mendukung
Visualisasi memegang peran yang penting dalam kerja kaum matematikawan. Hadamard (1945), sebagai contohnya, menyatakan bahwa selama problem solving banyak matematikawan yang menghindari tidak hanya penggunaan kata tetapi juga aljabarnya atau simbol-simbol lain; mereka menggunakan bernalar visual yang menyatukan geometris dan gambaran lain sebagai dasar intuisi mereka, dan kemudian hanya mengkodekannya dalam pola simbolik. Karena konvensi selama ini yang memandang bahwa hasil dari kerja matematis lebih penting daripada proses bagaimana mendapatkan hasil tersebut, representasi simbolik mempunyai penghargaan yang tinggi, dengan alat visual sebagai tahap tak kekal pada cara matematika real. Hasilnya adalah bahwa setting agenda matematis mengidentifikasi aljabar dan simbolik dengan keluaran virtual mode visual ekspresi matematis.
Kesukaan ini mempunyai kesimpulan pendidikan. Meskipun pokok penelitian adalah pendekatan potensial visual yang mendukung belajar matematis dan problem solving, siswa menunjukkan keengganan menggali sistem dukungan visual. Seolah-olah keengganan ini dapat diatasi, gabungan visualisasi ke dalam aktivitas matematis membawanya pada kumpulan permintaan kognitif. Kita tahu bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan ”membaca” diagram dan mengakui dampak transformasinya (sebagai contoh Kaput, 1989; Goldenberg, 1991 dalam Noss, 1997), kita tahu bahwa ketika kekuatan gambaran visual disajikan, siswa cenderung menunjukkan kesukaan untuk menyelesaikan persoalan sederhana dengan persepsi daripada bergerak dengan beragam pengetahuan matematis (Hillel, Kieran, dan Gurtner, 1989 dalam Noss, 1997); dan khususnya untuk tujuan kita, kita tahu bahwa siswa tidak cenderung membuat hubungan antara visualisasi mereka dan berpikir analitis (presmeg, 1986; Hillel dan Kieran, 1987 dalam Noss, 1997).
Dalam beragam cara, pencarian ini tidak mengejutkan. Matematikawan mengetahui apa yang dicari dari diagram, mengetahui apa yang dapat digeneralisasi dari gambar khusus dan dapat bekerja dalam kasus khusus atau gambaran geometris yang membolehkan pengamatan lebih umum. Salah satu cara berpikir yang membedakan ilmiah dari sehari-hari adalah bergerak to and fro- dari formal ke informal, analitik ke persepsi, ketelitian ke intuitif. Hal ini sangat mengejutkan jika seseorang yang belajar matematika gagal, setidakanya untuk berbagi cara-cara berpikir ini- khususnya jika mereka didorong untuk berkelakuan seolah-olah aliran konstruksi pengertian matematis adalah tidak bertujuan (unidirectional).
Dari pandangan kurikulum, kita akan melihat lebih jauh lagi. Kita tahu dari pengalaman di UK ketika diagram dibuat syarat dalam investigasi matematis, mereka menyederhanakan karakter ritual, menjadi anggota solusi masalah belaka daripada sebagai bagian dari prosesnya.
Secara bersamaan, persoalan motivasional, kognitif, dan kurikuler menyarankan bahwa membangun visual mendukung lingkungan belajar yang tidak terus terang. Setidaknya hal ini mensyaratkan kesadaran permintaan sistem yang mendukung itu sendiri- seperti apa yang disarankan  Dreyfus (dalam Noss, 1997) ”kesulitan-kesulitan yang diasosiasikan dengan representasi visual ini dapat diatasi, tetapi hanya jika kesulitan ini dicari secara sistematis, dianalisis, dan dihubungkan dengan. Masih secara fundamental, sistem yang mendukung perlu menggabungkan cara-cara dimana sistem mendorong hubungan antara cara (mode) bernalar daripada menyebabkan fragmentasi lebih lanjut.
Sekali lagi, kita kembali pada ”kurikulum nasional” masalah batang korek api (gambar di atas). Bagaimana komputer dapat membawa situasi tersebut?. Pertama, komputer dapat menggabungkan visual ke dalam setiap tahap aktivitas. Hal ini dapat mengeksternalisasi gambaran visual dan pada saat yang sama membuatnya dapat dimanipulasi. Ketika kemampuan mengkonstruksi, mengkombinasi, dan merekonstruksi gambaran yang biasanya merupakan hak prerogatif matematikawan, sekarang tersedia- jika tersedia kata untuk cara yang sedikit  banyak membuat kikuk kita masih beroperasi dengan komputer. Representasi visual objek pada layar komputer dan peristiwa memvisualkan hubungan dapat ditindak langsung dan kita dapat mengamati perubahan berikutnya dalam merepresentasi hubungan. Selanjutnya, situasi dapat dibalik; sangat mungkin menginvestigasi tindakan yang akan memberikan perubahan pada hubungan yang sudah ada.
Dengan sendirinya, hal ini menarik tetapi bukan perubahan teknologi yang kritis, perlu tapi bukan kondisi yang cukup bagi perubahan pedagogis. Elemen tambahan yang penting  adalah bahwa lingkungan autoekspresif seperti Sistem Aljabar Dinamik, manipulasi ini dapat meninggalkan jejak visual dan simboliknya secara simultan. Bagi pembelajar, hal ini menjanjikan konstruksi pengertian matematis dengan nafas kehidupan simbol tak berdaya sampai sekarang. Bagi peneliti Sistem Aljabar Dinamik menyajikan jendela pada bagaimana pengertian ini dibentuk dalam interaksi dengan setting dan bagaimana pengertian secara umum dikembangkan.
2.      Mendesain Microworld Mathstick
Kita akan mengkonstruksi microworld berdasarkan aktivitas batang korek api yang akan kita sebut sebagai mathstick, dan yang kita rencanakan menggabungkan sejumlah alat yang tidak tersedia. Microworld pada tulisan ini dibatasi sebagai kata yang mengandung arti lingkungan belajar yang berhubungan dengan penyelidikan yang menggabungkan komputer. Secara etimologi, microworld berarti sebagai dunia yang cukup sederhana dan kaya secara simultan untuk mempelajari perilaku belajar. Menurut Sacristan (2002), microworld adalah lingkungan pemrograman dimana proses tak hingga – barisan dan deret tak hingga – digali melalui konstruksi (menggunakan geometri kura-kura) model visual yang berbeda untuk merepresentasikan proses ini seperti ”membuka (unfolding)” gambar fraktal dan spiral yang melengkapi analisis numeris (seperti siswa mengkonstruksi tabel nilai, sebagai contoh jarak membentuk gambar pada level proses konstruksi yang berbeda). Dalam lingkungan pemrograman siswa menulis, menciptakan, memodifikasi dan menggali prosedur yang direpresentasikan dengan  cara yang beragam, yaitu proses tak hingga selama belajar. Untuk menegaskan kembali, kita tidak menyajikan mathstick sebagai suatu perkembangan kurikulum per se (meskipun dapat terjadi perkembangan). Pada dasarnya, kita melihatnya sebagai alat yang berguna untuk menggali saling mempengaruhi antara kreasi visual dan pengertian simbolik, dan secara umum menyediakan lebih dari sekedar puzzle untuk memahami bagimana pengertian matematis dikonstruksi.
Microworld mathstick ditulis menggunakan Microworld Project Builder(MPB), suatu lingkungan konstruksi berdasarkan program. Gambar 17 menunjukkan tampilan dari microworld. Alat tujuan bangun (purpose-built tool) didesain untuk menstimulus peletakkan bersama batang korek api pada barisan: tetapi yang menjadi pokok adalah bahasa program (dialek Logo) yang dapat digali oleh siswa pada sembarang waktu jika mereka menginginkannya. Salah satu alasan penggunaan Logo adalah Logo membantu menggabungkan representasi-representasi visual dan  menciptakan interaksi dengan kode simbolik (Sacristan, 2002). MPB mempunyai keuntungan khusus dibandingkan lingkungan komputer lain yang serupa; aliran tak bertujuan (unidirectional) program tekstual terhadap objek grafis dapat dibalik. Dengan menggabungkan secara langsung manipulasi objek grafis, MPB membolehkan kita mengkonstruksi lingkungan dimana pembelajar dapat memilih dasar interaksi grafis atau simbolik, membolehkan kita untuk mendapatkan pengertian yang lebih simetris ke dalam hubungan antara keduanya daripada sebelumnya. Simetri ini akan menjadi jelas ketika kita menggambarkan microworld dengan detil seperti berikut ini.
Pada aktivitas menggunakan mathstick, siswa diminta membangun pada layar komputer, suatu model bagaimana mereka melihat pola yang diberikan dalam barisan batang korek api, contohnya di gambar 17 siswa telah mengkontruksi  pola ke-5 barisan persegi. Melalui proses konstruksi ini, kita mengantisipai bahwa siswa dapat memperhatikan struktur pola yang diberikan itu sendiri dan hubungannya dengan yang lain; mereka dapat memulai untuk melihat kasus khusus sebagai wujud kasus yang umum. Harapan kita berasal dari 2 sumber: pertama karena gambaran mental tugasnya dapat direfleksikan dalam tindakan mereka (contohnya mengambil dan meletakkan icon batang korek api bersamaan ditunjukkan di kanan atas layar), dan dalam ritma bunyi klik dan batasnya; dan kedua karena gambaran mental dapat direalisasi secara simultan dengan simbol (kode program) yang muncul di box berlabel history dan divisualkan sebagai susunan objek-objek grafis.
Kita dorong siswa untuk menuliskan prosedur umum yang dapat digunakan untuk membangun pola-pola sembarang dari barisan. Kita mengharapkan, akan memaksa perbedaaan antara aspek-aspek kode siswa yang signifikan bagi struktur barisan darinya yang merepresentasikan karakteristik pola khusus. Tugas kita sebagai guru adalah memastikan bagaimana siswa menghubungkan antara simbolik dan visual, dan hubungan mana yang membantu mengembangkan kesadaran hubungan pokok.
MPB menyediakan beberapa fasilitas yang kita gali dalam microworld. MPB memiliki tombol (button)  yang jika kita clik akan mengoperasionalisasi fungsi contohnya tombol yang bertuliskan ”cs” dalam gambar 17, jika diclik akan membersihkan layar (tampilan) komputer. Terdapat pula slider yang dapat mengubah ukuran variabel, seperti yang ditunjukkan pada kiri gambar 3, ssize, dapat digunakan untuk mengubah ukuran batang korek api, dan text-boxes yang dapat menampilkan data tipe sembarang seperti box berlabel history. Alat tujuan bangun (purpose-built tool) didesain untuk mendukung pembangunan barisan, seperti berikut ini.
 
Icon merepresentasikan komponen barisan matematis (seperti batang, titik, dan ubin). Icon ini dapat diproduksi ulang oleh tampilan kura-kura melalui manipulasi langsung (mengklik icon yang tepat) atau dengan kontrol program (mengetik nama icon dalam pusat komando). Kita menginginkan siswa bekerja dengan sejumlah korek api, kita sadar bahwa kita membutuhkan beberapa cara mengindikasi ketika korek api ditempatkan langsung di atas korek api yang sudah ada terlebih dulu. Kita memutuskan bahwa dalam kasus ini objek yang berlebih akan muncul dalam warna yang berbeda.
Sistem jaringan tak terlihat (invisible grid system) dimana kura-kura dapat digeser (drag) ke lokasi yang tepat kemudian mengklik tombol mouse, kemudian akan masuk ke dalam jaringan. Orientasi dan perubahan kura-kura akan membingungkan, sehingga disediakan ikon jump yang dapat digunakan untuk menggerakkan kura-kura mengelilingi jaringan. Ukuran jaringan dapat diubah-ubah dengan menggunakan tombol (slider)  ssize, dimana skalanya akan mengubah ukuran komponen barisan dan loncatanya.
History text-box untuk mencatat tindakan simbolik yang ekivalen yang dibuat dengan manipulasi. Dengan mengklik tombol on/off siswa dapat memutuskan apakah mereka ingin mencatat tindakannya dalam bentuk kode Logo standar untuk mencetaknya ke dalam text box pada tampilan secara otomatis (lihat gambar 18). Dengan menggunakan tombol do_history, siswa dapat membuat perintah secara langsung dari text-box ini jika mereka memilihnya- yaitu jika tampilan grafis kosong dan history box menampilkan semua perintah yang membuat representasi visual dari barisan ubin, menekan tombol do_history akan membuat pengguna melihat pola barisan yang dibuat sekali lagi. Dalam gambar 18 berikut ini, history dapat menginformasikan kepada pembaca bagaimana barisan ubin dapat dikonstruksi, baris pertama, repeat 4 {jumpl} jumpd, mengatur kura-kura pada posisi start dengan melompat 4 kali ke kiri dan 1 kali ke bawah; baris kedua, tile”green menunjukkan ubin hijau digambar dengan mengklik ikon ”tile” dengan tex-box ”colour” menampilkan hijau, kemudian kura-kura melompat ke kanan, menggambar ubin oranye, dan sebagainya.
Selanjutnya akan digambarkan perhatian terhadap 2 permukaan pelengkap microworld ini. Pada tempat pertama, disediakan alat untuk memfokuskan pada masalah apa: oleh karena itu keputusan menyediakan permukaan jump antara korek api sebagai alternatif maju dan kanan. Pada saat yang sama, siswa telah bekerja dengan pengetahuan Logo, mengetahui bagaimana mengoperasikan fasilitas ”help”, dan bebas mengadopsi metode-metode konstruksi. Sebagai contoh, siswa dapat menggunakan forward dan right jika mereka menginginkannya. Terdapat poin yang metodologis di sini. Agar belajar bentuk ekspresi dapat dilakukan oleh siswa untuk memediasi ide matematis, kita sebagai guru harus melangkah secara berhati-hati dalam membolehkan jarak bebas terhadap ekspresi dan desakan yang terlalu kuat. Dalam kasus membentuk, bisa jadi sulit untuk menangkap bekas berpikir siswa- membiarkan sembarang bekas sendiri dapat digunakan sebagai sumber belajar matematis.
 DAFTAR PUSTAKA




Nemirovsky, Ricardo., Tacy Noble. 1997. On Mathematical Visualization and The Place  Wher We Live. (In) Educational studies in Mathematics: An International Journal.  Spuiboulevard: Kluwer Academic Publisher
Noss, Richard. 1997. The Construction of Mathematical Meanings: Connecting The Visual with The Simbolic. (In) Educational studies in Mathematics: An International Journal.  Spuiboulevard: Kluwer Academic Publisher
Sacristan, Anna Isabl. 2002. Coordinating Representations through Programming Activities: An Example using Logo. In Hitt, F. 2002. Representations and Mathematics Visualization. Working Group: Representation and Mathematics Visualization (1998-2002). North America Chapter of International Group for Th Psychology of Mathematics Investigation/Cinvestav-IPN. ISBN 968-5226-10-5





Tidak ada komentar:

Posting Komentar